WELCOME IN MY ADVENTURE

Judul

Sabtu, 18 Mei 2013

PERAN dan FUNGSI DPRD DALAM DESENTRALISI TERKAIT “Clean and good governance”

    Kepemerintahan daerah yang baik (good local governance) merupakan issue yang paling mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik dewasa ini. Tuntutan gagasan yang dilakukan masyarakat kepada pemerintah untuk pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang baik adalah sejalan dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat di samping adanya globalisasi pergeseran paradigma pemerintahan dari “rulling government” yang terus bergerak menuju “good governance” dipahami sebagai suatu fenomena berdemokrasi secara adil. Untuk itu perlu memperkuat peran dan fungsi DPRD agar eksekutif dapat menjalankan tugasnya dengan baik.
    DPRD yang seharusnya mengontrol jalannya pemerintahan agar selalu sesuai dengan aspirasi masyarakat,  bukan sebaliknya merusak dan mengkondisikan Eksekutif untuk  melakukan penyimpangan-penyimpangan terhadap aturan – aturan yang berlaku, melakukan kolusi dalam pembuatan anggaran agar menguntungkan dirinya, serta setiap kegiatan  yang  seharusnya  digunakan untuk    mengontrol eksekutif, justru  sebaliknya digunakan sebagai kesempatan untuk “memeras” eksekutif sehingga eksekutif perhatiannya menjadi lebih terfokus untuk  memanjakan anggota DPRD dibandingkan dengan masyarakat keseluruhan. Dengan demikian tidak aneh, apabila dalam beberapa waktu yang lalu beberapa anggota DPRD dari berbagai Kota/Kabupaten ataupun provinsi
            Banyak yang menjadi tersangka atau terdakwa dalam berbagai kasus yang diindikasikan korupsi. Hal ini yang sangat disesalkan oleh semua pihak, perilaku kolektif anggota dewan yang menyimpang dan cenderung melanggar aturan-aturan hukum yang berlaku. Walaupun maraknya korupsi di DPRD ini secara kasat mata banyak diketahui masyarakat namun yang diadili dan ditindak lanjuti oleh aparat penegak hukum, sangatlah sedikit. Faktor ini dapat memicu ketidakpuasan masyarakat terhadap supremasi hukum di negara kita. Elite politik yang seharusnya memberikan contoh  dan teladan kepada masyarakat justru melakukan tindakan-tindakan yang tidak terpuji, memperkaya diri sendiri, dan bahkan  melakukan pelanggaran hukum secara kolektif. Lemahnya penegakan hukum ini dapat  memicu  terjadinya  korupsi  secara  kolektif  oleh  elite  politik  terutama  anggota DPRD ini.
            Untuk menghindari adanya kooptasi politik antara kepala Daerah dengan DPRD maupun  sebaliknya  perlu  dijalankan  melalui  prinsip  Check  and  Balances”  artinya adanya keseimbangan serta merta adanya pengawasan    terus menerus terhadap kewenangan yang diberikannya . Dengan demikian anggota DPRD dapat dikatakan memiliki akuntabilitas, manakala memiliki “ rasa tanggung jawab dan kemampuan yang profesional dalam menjalankan peran dan fungsinya tersebut. Mekanisme “Check and Balances” memberikan peluang eksekutif untuk   mengontrol legislatif. Walaupun harus diakui oleh DPRD (Legislatif) memiliki posisi politik yang sangat kokoh dan seringkali tidak memiliki akuntabilitas politik karena  berkaitan erat dengan sistem pemilihan umum yang dijalankan. Untuk   itu kedepan perlu kiranya Kepala Daerah mempunyai keberanian untuk  menolak suatu usulan dari DPRD terhadap kebijakan yang menyangkut kepentingannya, misalnya kenaikan  gaji  yang tidak  masuk masuk akal, permintaan tunjangan yang berlebihan, dan membebani anggaran daerah untuk  kegiatan yang  kurang  penting.  Mekanisme  Check  and  Balances  ini  dapat  meningkatkan hubungan eksekutif dan legislatif dalam mewujudkan kepentingan masyarakat.
    DPRD sebagai lembaga legislatif yang kedudukannya sebagai wakil rakyat tidak mungkin melepaskan dirinya dari kehidupan rakyat yang diwakilinya. Oleh karena  itu secara material mempunyai kewajiban untuk  memberikan pelayanan kepada rakyat atau publik yang diwakilinya. DPRD sebagai wakil rakyat dalam tindakan dan perbuatan harus menyesuaikan dengan norma-norma yang dianut dan berlaku dalam kebudayaan rakyat yang diwakilinya. Dengan demikian DPRD tidak akan melakukan perbuatan yang tidak terpuji, menguntungkan pribadi dan membebani anggaran rakyat untuk kepentingannya. Dengan memahami etika pemerintahan diharapkan n dapat mengurangi tindakan-tindakan yang tercela, tidak terpuji dan merugikan masyarakat. Untuk  itu perlu kiranya dibuatkan “kode etik” untuk  para anggota DPRD yang dapat dijadikan pedoman dalam pelaksanaan peran dan fungsinya, sehingga kewenangan yang besar juga disertai dengan tanggung jawab yang besar pula. Sosok ideal DPRD yang bermoral, aspiratif dengan kepentingan rakyat , dan selalu memperjuangkan kesejahteraan masyarakat dapat terwujud. Kuncinya baik eksekutif maupun legislatif harus terjalin komunikasi timbal balik   dan   adanya keterbukaan diantara para pihak dalam   penyelesaian segala permasalahan dalam mewujudkan kesejahteraan rakyatnya.
    Harapan-harapan tersebut dapat terwujud dengan adanya pemilihan Kepala daerah secara langsung, yang akan memperkuat posisi Kepala Daerah sehingga dapat menjadi mitra yang baik bagi DPRD dalam mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi. Peran dan fungsi DPRD akan terjadi perubahan yang cukup signifikan seiring dengan pengurangan kewenangan yang dimilikinya tersebut. Dengan adanya keseimbangan hak dan kewenangan tersebut antara eksekutif dan legislatif diharapkan korupsi yang marak terjadi di DPRD (legislatif) dapat berkurang seiring dengan pematangan demokrasi dalam kehidupan masyarakat. Terwujudnya “Clean and good governance” merupakan harapan semua masyarakat.
   Penyelenggaraan pemerintahan dalam suatu negara tidak hanya terdapat di pusat pemerintahan saja. Pemerintahan pusat memberikan wewenangnya kepada pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pemerintahannya sendiri, dan di Indonesia yang dimaksud dengan  pemerintahan daerah  adalah  penyelenggaraan urusan  pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi yang seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.
  Berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur pemerintahan daerah menggunakan asas desentralisasai, dekonsentrasi dan tugas pembantuan, menampakkan dinamika besar kecilnya wewenang daerah, dalam mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya. Semakin besar penerapan asas desentralisasi pada daerah otonom (yang selanjutnya disebut daerah), semakin luas pulalah urusan pemerintahan yang diatur masing-masing daerah.
    Penyelenggaraan pemerintahan daerah melalui sistem desentralisasi yang berinti pokok atau bertumpu pada otonomi sangat mutlak didalam negara demokrasi. Dalam bahasa yang lebih tegas lagi dapat dikatakan bahwa desentralisasi bukan sekedar pemencaran wewnang (spreiding van machten) untuk mengatur dan mengurus penyelenggaraan pemerintahan negara antara pemerintahan negara antara pemerintah pusat dan satuan-satuan pemerintahan tingkatan lebih rendah. Hal ini disebabkan desentralisasi senantiasa berkaitan dengan status mandiri atau otonom sehingga setiap pembicaraan mengenai desentralisasi akan selalu dipersamakan atau dengan sendirinya berarti membicarakan otonomi.   
    Kata “otonomi” pada hakekatnya berarti mengatur rumah tangga sendiri. Kata otonomi itu kemudian didampingkan dengan kata “daerah”. Dengan otonomi daerah, karenanya ada kehendak untuk memperbaharui hubungan pemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah. Yaitu melalui perubahan corak hubungan yang semula titik tekannya berada pada azas-azas dekonsentrasi dan medebewind menjadi berpokok pada azas desentralisasi.   
     Sedangkan  dalam  penyelenggaraan  pemerintahan  di daerah,  dilaksanakan dengan asas Desentralisasi, yaitu penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
   Di samping itu juga melaksanakan Dekonsentrasi, yaitu pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan / atau kepada perangkat Pemerintah di daerah, dan serta melaksanakan Tugas Pembantuan, yaitu penugasan dari pemerintahan kepada daerah untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelakasanaanya dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan.       Sedangkan dalam arti ketatanegaraan desentralisasi adalah pelimpahan kekuasaan pemerintahan dari pusat kepada daerah-daerah, yang mengurus rumah tangganya sendiri (daerah-daerah otonom). Desentralisasi adalah juga cara atau sistem untuk mewujudkan asas demokrasi, yang memberikan kesempatan pada rakyat untuk ikut serta dalam pemerintahan negara.  Lazimnya desentralisasi itu dapat dibagi kedalam dua macam ;

1.      Dekonsentrasi (decontratie) atau ambtelijke decentralisatie, yaitu pelimpahan kekuasaan dari alat perlengkapan negara tingkatan lebih atas kepada bawahannya guna melancarkan pekerjaan didalam melaksanakan tugas pemerintahan, misalnya pelimpahan kekuasaan dan wewenang menteri kepada Gubernur.

2.      Desentralisasi ketatanegaraan (staatkundige decentralsatie) atau juga disebut juga desentralisasi politik yaitu pelimpahan kekuasaan perundangan dan pemerintahan (regelande en besturande bevoegheid) kepada daerah-daerah otonom didalam lingkungannya. Didalam desentralisasi politik ini, rakyat dengan mempergunakan saluran-saluran tertentu (perwakilan) ikut serta didalam pemerintahan, dengan batas wilayah daerah masing-masing.

      Undang-Undang Otonomi Daerah mempergunakan prinsip otonomi daerah dengan memberikan wewenang luas, nyata dan bertanggung jawab, dengan mengenal dua daerah otonom, yaitu daerah kabupaten/kota dan daerah provinsi tanpa hubungan hirarki.Sebagaimana disebutkan pada uraian sebelumnya merupkan salah satu wujud dari negara hukum, yang tercermin dari adanyapembatasan kekuasaan pemerintah serta wujud demokratisasi yang tercermin dari adanya akses dan keterlibatan masyarakat dalam menyelenggarakan urusan rumah tangga daerah sendiri. Desentralisasi merupakan sarana pembagian kekuasaan dari pusat pemerintahan ke pemerintah daerah, sehingga menjadi media pengaturan hubungan natar level pemerintahan (intergovernment)dalam lingkup suatu negara.
     Adapun mengenai hubungan antar level pemerintahan ( desentralisasi) tersebut berbeda penerapannya pada negara federal dengan negara kesatuan. Pada negara federal, hubungan antar level pemerintahan dikenal dengan sistem hubungan terpisah (separated authority model). Pada sistem ini, pemerintaha pusat tidak secara ketat mengontrol urusan-urusan pemerintahan yang sudah diserahkan kepada pemerintah daerah.

     Mewujudkan Good Governance

       Secara analogi, governance dalam konteks organisasi secara umum, baik berupa organisasi perusahaan maupun organisasi publik atau sosial lainnya, maka dapat diartikan pula sebagai suatu sistem dan struktur yang baik dan benar yang menciptakan kejelasan mekanisme   hubungan   organisasi   baik   secara   internal   maupun   eksternal. Good governance terwujud dalam implementasi dan penegakan (enforcement) dari sistem dan struktur yang telah tersusun dengan baik. Implementasi dan penegakan tersebut bertumpu pada,  umumnya,  lima  prinsip  yang  universal  yaitu:  responsibility,  accountability, fairness, independency, dan transparency. Kelima prinsip fundamental tersebut dapat dijelaskan secara singkat berikut ini: 
1.      Responsibility: kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap prinsip korporasi yang sehat serta peraturan perundangan yang berlaku;
2.      Accountability:  kejelasan  fungsi,  struktur,  sistem  dan  prosedur  pertanggung- jawaban organ perusahaan sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif;
3.      Fairness: perlakuan yang adil dan setara di dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundangan yang berlaku;
4.      Independency: pengelolaan secara profesional, menghindari benturan kepentingan dan tekanan pihak manapun sesuai peraturan perundangan yang berlaku;
5.      Transparency: keterbukaan informasi di dalam proses pengambilan keputusan dan di dalam mengungkapkan informasi material dan relevan mengenai perusahaan. Kelima prinsip tersebut bukanlah harga mati atau one size fits all, artinya dalam menerapkan dan menegakkan good governance kelima prinsip tersebut disesuaikan dengan budaya dan problem masing-masing institusi yang akan menjalankannya. Disamping itu, apabila menilik berbagai code of conduct ataupun best  practice dari berbagai institusi di berbagai negara, maka kelima prinsip dasar tersebut hampir selalu dapat ditemukan karena sifatnya yang universal. Namun demikian, perlu diperhatikan pula bahwa kelima prinsip ini sifatnya evolutionary in nature, artinya berkembang sesuai kebutuhan  dan  dinamika  masyarakat  yang  menerapkan  dan  menegakkannya.  Juga, praktik good governance di berbagai institusi di beberapa negara mengajarkan bahwa good  governance  is  about  time  as  well,  artinya  penerapan  dan  penegakan  good governance tidak semudah membalikkan telapak tangan, melainkan akan terkait erat dengan waktu, mengingat perubahan yang akan dilakukan adalah tidak sedikit dan tidak sederhana, terutama pada aspel mental dan budaya masyarakat yang akan menerapkan dan menegakkan good governance.
    Pendekatan pertumbuhan investasi (capital investment growth model) yang dilaksanakan pada awal tahun 1960-an menjadi pembangunan berorientasikan kepentingan rakyat ( people centered basic needs approach) juga mempengaruhi posisi rakyat. Pembangunan berbasis masyarakat dilakukan dengan memadukan peran pemerintah dan partisipasi masyarakat secara serasi dan proporsional.
     Paradigma good governance adalah terwujudnya keseimbangan natara state, market dan civil society. Prasyarat bagi terwujudnya good governance meliputi :    
1.      Sistem perwakilan efektif
2.      Peradilan independen
3.      Pemerintahan yang bersih, profesional dan responsif/aspiratif
4.      Desentralisasi demokratis
5.      Masyarakat warga yang kuat dan parsitipatif
6.      Mekanisme resolusi konflik yang efektif.
Kesimpulan
    Optimalisasi peran DPRD merupakan kebutuhan yang harus segera diupayakan jalan  keluarnya,  agar  dapat  melaksanakan  tugas,  wewenang,  dan  hak-haknya  secara efektif sebagai lembaga legislatif daerah. Optimalisasi peran ini oleh karena sangat tergantung  dari  tingkat  kemampuan  anggota  DPRD,  maka  salah  satu  upaya  yang dilakukan dapat diidentikkan dengan upaya peningkatan kualitas anggota DPRD. Buah dari peningkatan kualitas dapat diukur dari seberapa besar peran DPRD dari sisi kemitra sejajaran   dengan   lembaga   eksekutif   dalam   menyusun   anggaran,   menyusun   dan menetapkan berbagai Peraturan Daerah, serta dari sisi kontrol adalah sejauhmana DPRD telah melakukan pengawasan secara efektif terhadap Kepala Daerah dalam pelaksanaan APBD atau kebijakan publik yang telah ditetapkan.
      Namun yang juga tidak kalah pentingnya, optimalisasi peran DPRD ini alangkah lebih baik jika dibarengi dengan peningkatan pemehaman mengenai “etika politik” bagi anggota  DPRD, agar  pelaksanaan  fungsi-fungsi anggaran,  legislasi,  dan  pengawasan dapat berlangsung secara etis dan proporsional. Dengan pemahaman yang mendalam mengenai etika politik, setiap anggota DPRD tentu akan mampu menempatkan dirinya secara proporsional, baik dalam berbicara maupun bersikap atau bertindak, serta tidak melupakan posisinya sebagai wakil rakyat yang telah memilihnya. Sebagai salah satu contoh adalah tidak etis jika dalam situasi krisis yang multidimensional ini, anggota DPRD lebih mementingkan diri dan golongannya, ketimbang memperjuangkan nasib rakyat yang diwakilinya. Isue “money politics” dalam pemilihan Kepala Daerah di beberapa  daerah  dan  derasnya  arus  demontrasi  yang  menyoroti  perjuangan  anggota DPRD dalam menaikkan gaji dan kesejahteraannya, harus ditangkap sebagai pengalaman berharga untuk perbaikan di masa-masa mendatang.
    Adanya kemungkinan implikasi, baik yang bersifat politik maupun yang bersifat negatif seperti yang diuraikan di atas adalah didasarkan pada asumsi bhe Pimpinan dan anggota-anggota DPRD berada dalam kualifikasi ideal dalam arti memahami hak, tugas, dan wewenangnya serta mampu mengaplikasikannya secara baik, didukung dengan tingkat pendidikan dan pengalaman (kematangan) di bidang politik dan pemerintahan yang  memadai.  Dengan  asumsi  ini,  adanya  suasana  kondusif  yang  memungkinkan terlaksananya  kemitraan  dan  pengawasan,  atau  bahkan  terjadi  konflik  antara  kedua lembaga  tersebut,    menunjukkan    dinamika  politik  karena  DPRD  dapat  memainkan perannya secara baik.
   Tetapi yang perlu diantisipasi adalah jika kenyataan yang ada menunjukkan tingkat kualitas dan kemampuan anggota DPRD berkebalikan dengan kualifikasi ideal sebagai anggota legislatif, sehingga
1.      Jika  implikasinya  bersifat  positif,  maka  ada  kemungkinan besar  telah  terjadi kolusi di antara aktor-aktor yang mendominasi kedua lembaga tersebut. Dengan kata lain, bisa jadi DPRD kembali tidak berperanan sebagaimana mestinya karena tanpa disadari telah disub-ordinasi oleh Pemerintah Daerah.

2.      Jika implikasinya bersifat negatif, maka ada kemungkinan kedua belah pihak memang tidak memahami dan tidak mampu memainkan perannya secara semestinya.
     Kita tentu berharap bahwa yang terjadi adalah DPRD benar-benar mampu berperan dalam  arti  mampu menggunakan hak-haknya secara  tepat,  melaksanakan tugas dan kewajibannya secara efektif dan menempatkan kedudukannya secara proporsional. Hal ini dimungkinkan jika setiap anggota DPRD bukan saja piawai dalam berpolitik, melainkan juga menguasai pengetahuan yang cukup dalam hal konsepsi dan teknis penyelenggaraan pemerintahan, teknis pengawasan, penyusunan anggaran, dan lain sebagainya.

Daftar Pustaka
  • Dr. Juanda, SH.,M.H, Hukum Pemerintahan Daerah, Pasang Surut Hubungan Kewenangan Antara DPRD dan Kepala Daerah, P.T. Alumni, Bandung, 2004, Hal.
  • W. Ariawan Tjandra dan Kresno Budi Darsono, Legislative Drafting, Teori dan Teknik Pembuatan Peraturan Daerah, Cet. I, UAJY, 2009, Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
KeluarJangan Lupa Klik Like Dan Follow ya!