Kepemerintahan
daerah yang baik (good local governance) merupakan
issue yang paling mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik dewasa ini.
Tuntutan gagasan yang dilakukan masyarakat kepada pemerintah untuk pelaksanaan
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang baik adalah sejalan dengan
meningkatnya pengetahuan masyarakat di samping adanya globalisasi pergeseran
paradigma pemerintahan dari “rulling
government” yang terus bergerak menuju “good governance” dipahami sebagai
suatu fenomena berdemokrasi secara adil. Untuk itu perlu memperkuat peran dan
fungsi DPRD agar eksekutif dapat menjalankan tugasnya dengan baik.
DPRD
yang seharusnya mengontrol jalannya pemerintahan agar selalu sesuai dengan
aspirasi masyarakat, bukan sebaliknya
merusak dan mengkondisikan Eksekutif untuk
melakukan penyimpangan-penyimpangan terhadap aturan – aturan yang
berlaku, melakukan kolusi dalam pembuatan anggaran agar menguntungkan dirinya,
serta setiap kegiatan yang seharusnya
digunakan untuk mengontrol
eksekutif, justru sebaliknya digunakan
sebagai kesempatan untuk “memeras” eksekutif sehingga eksekutif perhatiannya
menjadi lebih terfokus untuk memanjakan
anggota DPRD dibandingkan dengan masyarakat keseluruhan. Dengan demikian tidak
aneh, apabila dalam beberapa waktu yang lalu beberapa anggota DPRD dari
berbagai Kota/Kabupaten ataupun provinsi
Banyak
yang menjadi tersangka atau terdakwa dalam berbagai kasus yang diindikasikan
korupsi. Hal ini yang sangat disesalkan oleh semua pihak, perilaku kolektif
anggota dewan yang menyimpang dan cenderung melanggar aturan-aturan hukum yang
berlaku. Walaupun maraknya korupsi di DPRD ini secara kasat mata banyak
diketahui masyarakat namun yang diadili dan ditindak lanjuti oleh aparat
penegak hukum, sangatlah sedikit. Faktor ini dapat memicu ketidakpuasan
masyarakat terhadap supremasi hukum di negara kita. Elite politik yang
seharusnya memberikan contoh dan teladan
kepada masyarakat justru melakukan tindakan-tindakan yang tidak terpuji,
memperkaya diri sendiri, dan bahkan
melakukan pelanggaran hukum secara kolektif. Lemahnya penegakan hukum ini
dapat memicu terjadinya
korupsi secara kolektif
oleh elite politik
terutama anggota DPRD ini.
Untuk
menghindari adanya kooptasi politik antara kepala Daerah dengan DPRD
maupun sebaliknya perlu
dijalankan melalui prinsip
“Check and Balances” artinya adanya keseimbangan serta merta
adanya pengawasan terus menerus
terhadap kewenangan yang diberikannya . Dengan demikian anggota DPRD dapat
dikatakan memiliki akuntabilitas, manakala memiliki “ rasa tanggung jawab dan
kemampuan yang profesional dalam menjalankan peran dan fungsinya tersebut.
Mekanisme “Check and Balances”
memberikan peluang eksekutif untuk
mengontrol legislatif. Walaupun harus diakui oleh DPRD (Legislatif)
memiliki posisi politik yang sangat kokoh dan seringkali tidak memiliki
akuntabilitas politik karena berkaitan
erat dengan sistem pemilihan umum yang dijalankan. Untuk itu kedepan perlu kiranya Kepala Daerah
mempunyai keberanian untuk menolak suatu
usulan dari DPRD terhadap kebijakan yang menyangkut kepentingannya, misalnya
kenaikan gaji yang tidak
masuk masuk akal, permintaan tunjangan yang berlebihan, dan membebani
anggaran daerah untuk kegiatan yang kurang
penting. Mekanisme “Check and
Balances” ini dapat
meningkatkan hubungan eksekutif dan legislatif dalam mewujudkan
kepentingan masyarakat.
DPRD
sebagai lembaga legislatif yang kedudukannya sebagai wakil rakyat tidak mungkin
melepaskan dirinya dari kehidupan rakyat yang diwakilinya. Oleh karena itu secara material mempunyai kewajiban untuk
memberikan pelayanan kepada rakyat atau
publik yang diwakilinya. DPRD sebagai wakil rakyat dalam tindakan dan perbuatan
harus menyesuaikan dengan norma-norma yang dianut dan berlaku dalam kebudayaan
rakyat yang diwakilinya. Dengan demikian DPRD tidak akan melakukan perbuatan
yang tidak terpuji, menguntungkan pribadi dan membebani anggaran rakyat untuk
kepentingannya. Dengan memahami etika pemerintahan diharapkan n dapat
mengurangi tindakan-tindakan yang tercela, tidak terpuji dan merugikan
masyarakat. Untuk itu perlu kiranya
dibuatkan “kode etik” untuk para anggota
DPRD yang dapat dijadikan pedoman dalam pelaksanaan peran dan fungsinya,
sehingga kewenangan yang besar juga disertai dengan tanggung jawab yang besar
pula. Sosok ideal DPRD yang bermoral, aspiratif dengan kepentingan rakyat , dan
selalu memperjuangkan kesejahteraan masyarakat dapat terwujud. Kuncinya baik
eksekutif maupun legislatif harus terjalin komunikasi timbal balik dan
adanya keterbukaan diantara para pihak dalam penyelesaian segala permasalahan dalam
mewujudkan kesejahteraan rakyatnya.
Harapan-harapan
tersebut dapat terwujud dengan adanya pemilihan Kepala daerah secara langsung,
yang akan memperkuat posisi Kepala Daerah sehingga dapat menjadi mitra yang baik bagi DPRD dalam mengatasi
berbagai persoalan yang dihadapi. Peran dan fungsi DPRD akan terjadi perubahan
yang cukup signifikan seiring dengan pengurangan kewenangan yang dimilikinya
tersebut. Dengan adanya keseimbangan hak dan kewenangan tersebut antara
eksekutif dan legislatif diharapkan korupsi yang marak terjadi di DPRD
(legislatif) dapat berkurang seiring dengan pematangan demokrasi dalam
kehidupan masyarakat. Terwujudnya “Clean
and good governance” merupakan harapan semua masyarakat.
Penyelenggaraan
pemerintahan dalam suatu negara tidak hanya terdapat di pusat pemerintahan
saja. Pemerintahan pusat memberikan wewenangnya kepada pemerintah daerah untuk
menyelenggarakan pemerintahannya sendiri, dan di Indonesia yang dimaksud
dengan pemerintahan daerah adalah
penyelenggaraan urusan
pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan dengan prinsip otonomi yang seluas-luasnya dalam sistem dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.
Berbagai
peraturan perundang-undangan yang mengatur pemerintahan daerah menggunakan asas
desentralisasai, dekonsentrasi dan tugas pembantuan, menampakkan dinamika besar
kecilnya wewenang daerah, dalam mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya.
Semakin besar penerapan asas desentralisasi pada daerah otonom (yang
selanjutnya disebut daerah), semakin luas pulalah urusan pemerintahan yang
diatur masing-masing daerah.
Penyelenggaraan
pemerintahan daerah melalui sistem desentralisasi yang berinti pokok atau
bertumpu pada otonomi sangat mutlak didalam negara demokrasi. Dalam bahasa yang
lebih tegas lagi dapat dikatakan bahwa desentralisasi bukan sekedar pemencaran
wewnang (spreiding van machten) untuk mengatur dan mengurus penyelenggaraan
pemerintahan negara antara pemerintahan negara antara pemerintah pusat dan
satuan-satuan pemerintahan tingkatan lebih rendah. Hal ini disebabkan
desentralisasi senantiasa berkaitan dengan status mandiri atau otonom sehingga
setiap pembicaraan mengenai desentralisasi akan selalu dipersamakan atau dengan
sendirinya berarti membicarakan otonomi.
Kata
“otonomi” pada hakekatnya berarti mengatur rumah tangga sendiri. Kata otonomi
itu kemudian didampingkan dengan kata “daerah”. Dengan otonomi daerah,
karenanya ada kehendak untuk memperbaharui hubungan pemerintahan pusat dengan
pemerintahan daerah. Yaitu melalui perubahan corak hubungan yang semula titik
tekannya berada pada azas-azas dekonsentrasi dan medebewind menjadi berpokok
pada azas desentralisasi.
Sedangkan dalam
penyelenggaraan pemerintahan di daerah,
dilaksanakan dengan asas Desentralisasi, yaitu penyerahan wewenang pemerintahan
oleh Pemerintah kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Di
samping itu juga melaksanakan Dekonsentrasi, yaitu pelimpahan wewenang
pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan /
atau kepada perangkat Pemerintah di daerah, dan serta melaksanakan Tugas
Pembantuan, yaitu penugasan dari pemerintahan kepada daerah untuk melaksanakan
tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya
manusia dengan kewajiban melaporkan pelakasanaanya dan mempertanggungjawabkan
kepada yang menugaskan. Sedangkan
dalam arti ketatanegaraan desentralisasi adalah pelimpahan kekuasaan
pemerintahan dari pusat kepada daerah-daerah, yang mengurus rumah tangganya
sendiri (daerah-daerah otonom). Desentralisasi adalah juga cara atau sistem
untuk mewujudkan asas demokrasi, yang memberikan kesempatan pada rakyat untuk
ikut serta dalam pemerintahan negara. Lazimnya desentralisasi itu dapat dibagi
kedalam dua macam ;
1.
Dekonsentrasi
(decontratie) atau ambtelijke decentralisatie, yaitu
pelimpahan kekuasaan dari alat perlengkapan negara tingkatan lebih atas kepada
bawahannya guna melancarkan pekerjaan didalam melaksanakan tugas pemerintahan,
misalnya pelimpahan kekuasaan dan wewenang menteri kepada Gubernur.
2.
Desentralisasi
ketatanegaraan (staatkundige
decentralsatie) atau juga disebut juga desentralisasi politik yaitu pelimpahan
kekuasaan perundangan dan pemerintahan (regelande
en besturande bevoegheid) kepada daerah-daerah otonom didalam
lingkungannya. Didalam desentralisasi politik ini, rakyat dengan mempergunakan
saluran-saluran tertentu (perwakilan) ikut serta didalam pemerintahan, dengan
batas wilayah daerah masing-masing.
Undang-Undang Otonomi Daerah
mempergunakan prinsip otonomi daerah dengan memberikan wewenang luas, nyata dan
bertanggung jawab, dengan mengenal dua daerah otonom, yaitu daerah
kabupaten/kota dan daerah provinsi tanpa hubungan hirarki.Sebagaimana disebutkan pada uraian
sebelumnya merupkan salah satu wujud dari negara hukum, yang tercermin dari
adanyapembatasan kekuasaan pemerintah serta wujud demokratisasi yang tercermin
dari adanya akses dan keterlibatan masyarakat dalam menyelenggarakan urusan
rumah tangga daerah sendiri. Desentralisasi merupakan sarana
pembagian kekuasaan dari pusat pemerintahan ke pemerintah daerah, sehingga
menjadi media pengaturan hubungan natar level pemerintahan (intergovernment)dalam lingkup suatu negara.
Adapun mengenai hubungan antar level
pemerintahan ( desentralisasi) tersebut berbeda penerapannya pada negara
federal dengan negara kesatuan. Pada negara federal, hubungan antar level
pemerintahan dikenal dengan sistem hubungan terpisah (separated authority model). Pada sistem ini, pemerintaha pusat
tidak secara ketat mengontrol urusan-urusan pemerintahan yang sudah diserahkan
kepada pemerintah daerah.
Mewujudkan
Good Governance
Secara analogi, governance dalam konteks organisasi secara umum, baik berupa
organisasi perusahaan maupun organisasi publik atau sosial lainnya, maka dapat
diartikan pula sebagai suatu sistem dan struktur yang baik dan benar yang
menciptakan kejelasan mekanisme
hubungan organisasi baik
secara internal maupun
eksternal. Good governance
terwujud dalam implementasi dan penegakan (enforcement)
dari sistem dan struktur yang telah tersusun dengan baik. Implementasi dan
penegakan tersebut bertumpu pada,
umumnya, lima prinsip
yang universal yaitu:
responsibility, accountability, fairness, independency,
dan transparency. Kelima prinsip
fundamental tersebut dapat dijelaskan secara singkat berikut ini:
1.
Responsibility: kesesuaian di dalam
pengelolaan perusahaan terhadap prinsip korporasi yang sehat serta peraturan
perundangan yang berlaku;
2.
Accountability: kejelasan
fungsi, struktur, sistem
dan prosedur pertanggung- jawaban organ perusahaan
sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif;
3.
Fairness: perlakuan yang adil dan
setara di dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian
dan peraturan perundangan yang berlaku;
4.
Independency: pengelolaan secara
profesional, menghindari benturan kepentingan dan tekanan pihak manapun sesuai
peraturan perundangan yang berlaku;
5.
Transparency: keterbukaan informasi
di dalam proses pengambilan keputusan dan di dalam mengungkapkan informasi
material dan relevan mengenai perusahaan. Kelima prinsip tersebut bukanlah
harga mati atau one size fits all,
artinya dalam menerapkan dan menegakkan good
governance kelima prinsip tersebut disesuaikan dengan budaya dan problem
masing-masing institusi yang akan menjalankannya. Disamping itu, apabila
menilik berbagai code of conduct ataupun best practice dari berbagai institusi di
berbagai negara, maka kelima prinsip dasar tersebut hampir selalu dapat
ditemukan karena sifatnya yang universal. Namun demikian, perlu diperhatikan
pula bahwa kelima prinsip ini sifatnya evolutionary
in nature, artinya berkembang sesuai kebutuhan dan
dinamika masyarakat yang
menerapkan dan menegakkannya. Juga, praktik good governance di berbagai institusi di beberapa negara
mengajarkan bahwa good governance
is about time
as well, artinya
penerapan dan penegakan
good governance tidak semudah
membalikkan telapak tangan, melainkan akan terkait erat dengan waktu, mengingat
perubahan yang akan dilakukan adalah tidak sedikit dan tidak sederhana,
terutama pada aspel mental dan budaya masyarakat yang akan menerapkan dan
menegakkan good governance.
Pendekatan
pertumbuhan investasi (capital investment
growth model) yang dilaksanakan pada awal tahun 1960-an menjadi pembangunan
berorientasikan kepentingan rakyat (
people centered basic needs approach) juga mempengaruhi posisi rakyat.
Pembangunan berbasis masyarakat dilakukan dengan memadukan peran pemerintah dan
partisipasi masyarakat secara serasi dan proporsional.
Paradigma
good governance adalah terwujudnya keseimbangan natara state, market dan civil
society. Prasyarat bagi terwujudnya good
governance meliputi :
1.
Sistem
perwakilan efektif
2.
Peradilan
independen
3.
Pemerintahan
yang bersih, profesional dan responsif/aspiratif
4.
Desentralisasi
demokratis
5.
Masyarakat
warga yang kuat dan parsitipatif
6.
Mekanisme
resolusi konflik yang efektif.
Kesimpulan
Optimalisasi
peran DPRD merupakan kebutuhan yang harus segera diupayakan jalan keluarnya,
agar dapat melaksanakan
tugas, wewenang, dan
hak-haknya secara efektif sebagai
lembaga legislatif daerah. Optimalisasi peran ini oleh karena sangat tergantung dari
tingkat kemampuan anggota
DPRD, maka salah
satu upaya yang dilakukan dapat diidentikkan dengan
upaya peningkatan kualitas anggota DPRD. Buah dari peningkatan kualitas dapat
diukur dari seberapa besar peran DPRD dari sisi kemitra sejajaran dengan
lembaga eksekutif dalam
menyusun anggaran, menyusun
dan menetapkan berbagai Peraturan Daerah, serta dari sisi kontrol adalah
sejauhmana DPRD telah melakukan pengawasan secara efektif terhadap Kepala
Daerah dalam pelaksanaan APBD atau kebijakan publik yang telah ditetapkan.
Namun
yang juga tidak kalah pentingnya, optimalisasi peran DPRD ini alangkah lebih
baik jika dibarengi dengan peningkatan pemehaman mengenai “etika politik” bagi
anggota DPRD, agar pelaksanaan
fungsi-fungsi anggaran,
legislasi, dan pengawasan dapat berlangsung secara etis dan
proporsional. Dengan pemahaman yang mendalam mengenai etika politik, setiap
anggota DPRD tentu akan mampu menempatkan dirinya secara proporsional, baik
dalam berbicara maupun bersikap atau bertindak, serta tidak melupakan posisinya
sebagai wakil rakyat yang telah memilihnya. Sebagai salah satu contoh adalah
tidak etis jika dalam situasi krisis yang multidimensional ini, anggota DPRD
lebih mementingkan diri dan golongannya, ketimbang memperjuangkan nasib rakyat
yang diwakilinya. Isue “money politics” dalam pemilihan Kepala Daerah di
beberapa daerah dan
derasnya arus demontrasi
yang menyoroti perjuangan
anggota DPRD dalam menaikkan gaji dan kesejahteraannya, harus ditangkap
sebagai pengalaman berharga untuk perbaikan di masa-masa mendatang.
Adanya
kemungkinan implikasi, baik yang bersifat politik maupun yang bersifat negatif
seperti yang diuraikan di atas adalah didasarkan pada asumsi bhe Pimpinan dan
anggota-anggota DPRD berada dalam kualifikasi ideal dalam arti memahami hak,
tugas, dan wewenangnya serta mampu mengaplikasikannya secara baik, didukung
dengan tingkat pendidikan dan pengalaman (kematangan) di bidang politik dan
pemerintahan yang memadai. Dengan
asumsi ini, adanya
suasana kondusif yang
memungkinkan terlaksananya
kemitraan dan pengawasan,
atau bahkan terjadi
konflik antara kedua lembaga
tersebut, menunjukkan dinamika
politik karena DPRD
dapat memainkan perannya secara
baik.
Tetapi
yang perlu diantisipasi adalah jika kenyataan yang ada menunjukkan tingkat
kualitas dan kemampuan anggota DPRD berkebalikan dengan kualifikasi ideal
sebagai anggota legislatif, sehingga
1.
Jika implikasinya
bersifat positif, maka
ada kemungkinan besar telah
terjadi kolusi di antara aktor-aktor yang mendominasi kedua lembaga
tersebut. Dengan kata lain, bisa jadi DPRD kembali tidak berperanan sebagaimana
mestinya karena tanpa disadari telah disub-ordinasi oleh Pemerintah Daerah.
2.
Jika
implikasinya bersifat negatif, maka ada kemungkinan kedua belah pihak memang
tidak memahami dan tidak mampu memainkan perannya secara semestinya.
Kita
tentu berharap bahwa yang terjadi adalah DPRD benar-benar mampu berperan
dalam arti mampu menggunakan hak-haknya secara tepat,
melaksanakan tugas dan kewajibannya secara efektif dan menempatkan
kedudukannya secara proporsional. Hal ini dimungkinkan jika setiap anggota DPRD
bukan saja piawai dalam berpolitik, melainkan juga menguasai pengetahuan yang
cukup dalam hal konsepsi dan teknis penyelenggaraan pemerintahan, teknis
pengawasan, penyusunan anggaran, dan lain sebagainya.
Daftar Pustaka
- Dr. Juanda, SH.,M.H, Hukum Pemerintahan Daerah, Pasang Surut Hubungan Kewenangan Antara DPRD dan Kepala Daerah, P.T. Alumni, Bandung, 2004, Hal.
- W. Ariawan Tjandra dan Kresno Budi Darsono, Legislative Drafting, Teori dan Teknik Pembuatan Peraturan Daerah, Cet. I, UAJY, 2009, Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar