A. Sistem Perencanaan Pembangunan
Bahwa di dalam konteks penyelenggaraan negara secara berkesinambungan,
penyusunan rencana pembangunan haruslah berbasis kajian atas pelaksanaan
rencana pembangunan periode sebelumnya dan artikulasi dari apa yang seharusnya
tercapai di dalam periode pelaksanaannya. Dalam hal penilaian terhadap
pelaksanaan pembangunan periode sebelumnya, terdapat kelemahan umum berupa
kesenjangan antara perencanaan dan pengelolaan pelaksanaan rencana:
1.
Proses perencanaan pembangunan tidak
sekaligus mengembangkan indikator kinerja dan target terukur; masalah ini
sangat umum terjadi karena kebanyakan rencana pembangunan (termasuk perencana)
tidak sampai mendefinisikan bagaimana rencana bisa dicapai atau
diwujudkan. Pada umumnya rencana pembangunan berhenti pada identifikasi (apa,
mengapa, di mana, kapan, dan berapa anggarannya).
2.
Rencana-rencana yang disusun tidak
dikaitkan dengan scorecard kinerja organisasi dan individu; hampir tidak
mungkin menemukan hubungan yang mengikat antara keberadaan sebuah
organisasi/individu aparat pemerintah dengan kualitas bagian/ penjabaran
rencana pembangunan yang dihasilkannya.
3.
Tidak efektifnya mekanisme untuk
pemantauan kinerja organisasi dan pelaporan; masalah ini terutama sebagai
akibat tidak ditetapkannya tolok ukur yang mengikat, sebagai bagian yang
tidak terpisahkan dari proses perencanaan dan pemuatannya di dalam dokumen
rencana. Dalam hal ini budaya subyektif menjadi sangat kental, dan budaya
obyektif cenderung punah. Penilian di atas bersama-sama dengan isu-isu lain
yang berhubungan dengan manajemen strategis.
Gambar 1. Manajemen Strategis
selanjutnya digunakan sebagai basis
untuk menyimpulkan sasaran dan prinsip-prinsip sistem perencanaan pembangunan
sebagai berikut:
- Memperkuat kooperasi/kemitraan antara politikus, masyarakat, pakar, dan aparat pemerintah pusat/daerah dalam satu rangkaian proses politik, proses teknokatik, proses partisipatif, dan proses bottom-up & top-down. Tradisi perencanaan ini dikenal sebagai tradisi Analisis Kebijakan.
- Merangkai Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) – Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra-SKPD), Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dalam hubungan kesinambungan antar dimensi materi, ruang dan waktu yang nyata (Lihat Gambar 2 dan Gambar 3).
- Memastikan bahwa perencanaan pembangunan terpadu ini searah dengan kebutuhan masyarakat dan prioritas politik; bahwa pelaksanaan rencana pembangunan (daerah) tidak bisa dipisahkan dengan kekuasaan/kewenangan kepemimpinan penyelanggaraannya yang lahir dari proses politik. Dalam konteks rencana pembangunan jangka menengah, proses politik1 masuk sebagai bagian awal proses perencanaan.
- Mengembangkan kesatuan antara proses-proses perencanaan, pengelolaan kinerja, dan penganggaran; prinsip dasarnya adalah membiayai keluaran bukan membiayai kegiatan atau proyek.
- Memastikan pengembangan program-program, proyek-proyek, aktivitasaktivitas, dan target-target untuk mencapai strategi (rencana) pembangunan daerah; prinsip hubungan struktural dan organik batang – cabang – ranting.
- Memperkuat keterkaitan dan keterpaduan penyediaan pelayanan ke seluruh wilayah berdasarkan pendekatan sektor, kewilayahan dan kelembagaan.
- Memberdayakan dan membudayakan pelaporan pertanggungjawaban kinerja dan keberhasilan secara jelas/eksplisit dan terukur, menuju obyektifitas dan meninggalkan subyektifitas yang sejalan dengan meningkatkan kredibilitas komunikasi perencanaan.
- Memastikan bahwa rencana pembangunan jangka menengah mewujudkan basis dari sistem pengelolaan kinerja organisasi dan individu; rencana jangka menengah memuat rancangan yang nyata, bukan lagi indikatif.
- Membangun komitmen pada para pengelola organisasi (khususnya non pemerintah) dengan rasa turut memiliki strategi (rencana) pembangunan daerah dan pelaksanaannya; sebagian besar sumberdaya untuk pembangunan berada pada masyarakat dan organisasi non pemerintah. Komitmen terbangun dengan komunikasi perencanaan yang eksplisit.
- Memperkenalkan struktur dan konsistensi tentang proses perencanaan kepada seluruh stakeholder pembangunan daerah; modal dasar untuk mengembangkan rasa memiliki dan pemantapan komitmen bersama.
Sasaran-sasaran di atas bersama-sama dengan pengujian benchmarking,
dimanfaatkan sebagai basis untuk menemu-kenali pendekatan dan sistem yang cocok
untuk perencanaan pembangunan. Dari sini, pada tahun 1992, Robert S. Kaplan dan
David Norton, mensintesiskan metoda perencanaan pembangunan dengan Balanced
Scorecard.
Gambar 2. Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional Alur Perencanaan dan Penganggaran (UU 25/2004)
Gambar 3. Hubungan Antar Dokumen
Perencanaan Daerah
B. Pendekatan Balanced Scorecard
Tahun 1992 Robert S. Kaplan dan David Norton, dua orang profesor pada
Harvard University memperkenalkan Balanced Scorecard. Setelah mereka
melakukan kajian terhadap proses perencanaan strategis tradisional dan
menemukan bahwa di dalam proses perencanaan ini terdapat kelemahan
karakteristik, diantaranya penekanan yang berlebihan pada isu-isu
keuangan/penganggaran dan ketidak jelasan rancangan kinerja pelaksanaan, suatu
ketidak-mampuan untuk mengkomunikasikan dan menjabarkan strategi2 keseluruh
satuan kerja serta suatu kelemahan dalam prosesproses pengukuran kinerja
terhadap strategi yang tidak formal dan terstruktur.
Dengan kemampuan untuk merangkaikan strategi dengan kinerja, pendekatan balance
scorecard telah ditemukan banyak kegunaannya dalam berbagai organisasi
swasta maupun organisasi publik. Balance scorecard adalah suatu sistem
manajemen strategis yang fokus pada strategi, penganggaran, dan pengukuran kinerja
secara simultan. Karakter spesifik dari pendekatan ini adalah pada 4 (empat)
perspektif yang masing-masing akan mengorientasikan strategi sebuah organisasi
secara tententu. Diagram berikut menggambarkan ke 4 (empat) perspektif dan
mencontohkan bagaimana mengorientasikan pemerintah daerah dengan misi
pembangunan daerahnya.
Gambar 4. Diagram Perspektif
Orientasi dan Misi Pembangunan Daerah
Balanced Scorecard menempatkan
perspektif stakeholder sebagai perspektif tertinggi. Fokus kepada
masyarakat/penduduk dan menyediakan pelayanan berkualitas tinggi ditekankan
secara khusus. Perspektif lainnya adalah untuk mendukung fokus strategis dari
perspektif stakeholder, yang pada kenyataannya adalah manusia sebagai
individu maupun sebagai anggota kelompok masyarakat. Dengan kata lain, balanced
scorecard dikembangkan dengan basis manusia sebagai inti, dalam hal ini
inti dari pembangunan daerah. Sejalan dengan prinsip human ecology dengan
3(tiga) unsur utamanya, yaitu aspek sosial, aspek perekonomian, dan aspek
lingkungan hidupnya, pembangunan daerah menyangkut pembangunan manusia
seutuhnya.
Pembangunan daerah harus menyentuh ketiga aspek kehidupan masyarakatnya;
kemudian lebih dikenal sebagai 3 (tiga) pilar pembangunan berkelanjutan yaitu:
- Pembangunan Sosial.
- Pembangunan Perekonomian, dan .
- Pembangunan Lingkungan Hidup.
Setiap upaya pembangunan menuntut
perencanaan terlebih dahulu. Balanced Scorecard mensintesiskan 4 (empat)
perspektif yaitu:
- Perspektif Stakeholders;
- Perspektif Keuangan;
- Perspektif Pertumbuhan;
- Perspektif Internal.
Berbeda dengan perencanaan ekstrapolatif yang terfokus pada
antisipasi/reaktif terhadap ekstrapolasi statistik ke masa depan, perencanaan
visioner bersifat proaktif dengan adanya kisi-kisi (baca dan resapi isi
masing-masing kotak) dari ke 4 (empat) perspektif tersebut, yang mampu
mengakomodasikan dinamika masa depan. Manfaat khusus dari pendekatan ini adalah
cakupannya yang sekaligus berfungsi sebagai perangkat pengelolaan (management
tool) dan perangkat pengukuran keberhasilan (measurement tool), yang
melengkapinya sebagai perangkat perencanaan (planning tool), dengan
uraian sebagai berikut:
Sebagai perangkat pengelolaan,
manfaatnya adalah:
- Memperjelas dan membantu terbentuknya konsensus bagi perumusan strategi (khususnya di antara para penanggungjawab pelaksanaannya/eselon 2).
- Menyelaraskan tujuan-tujuan strategis (strategic goals) melalui pengembangan saling keterkaitan yang jelas.
- Memungkinkan komunikasi tentang strategi secara menyeluruh di dalam organisasi pemerintah daerah.
- Mensyaratkan penjabaran sistematik dari strategi secara bertingkat di dalam organisasi pemerintah daerah.
- Mengidentifikasi inisiatif strategis dalam hubungannya dengan setiap organ pemerintah daerah.
- Mensyaratkan kajian secara berkala.
- Sebagai perangkat pengukuran keberhasilan, manfaatnya adalah:
- Mensyaratkan pengembangan ukuran-ukuran keberhasilan di dalam setiap perspektif.
- Memastikan bahwa pengelolaan kinerja jelas terkait dengan pernyataan strategi dan memberikan kunci-kunci kinerja di mana organ pemerintah daerah tersebut diharapkan tampil dengan memuaskan.
- Menawarkan metoda grafis untuk melihat hubungan antara setiap variabel.
- Menciptakan kerangka yang nyata untuk menyusun laporan pertanggungjawaban pelaksanaan rencana terhadap capaian keberhasilan.
Sebagai contoh kasus pengalaman
penerapan metoda balanced scorecard di Brisbane (Australia) dan
Charlotte (USA), dapat diambil pelajaran sebagai berikut:
- Penekanan yang kuat pada kepentingan konsumen dan pelayanan bermutu yang efisien (cost effective).
- Peningkatan partisipasi masyarakat yang tinggi di dalam proses perencanaan, diperkuat dengan penelitian tentang trend (terkait dengan kondisi masa depan; peluang dan ancaman) dan issue (terkait dengan masa lalu dan kini) yang masih dan akan dihadapi oleh pemerintah daerah.
- Memperoleh masukan yang berkualitas dari staf dan pengelola.
- Penggambaran struktur penjabaran yang jelas dan eksplisit dari rencana pembangunan daerah, rencana pembangunan organ pemerintah daerah (= SKPD) dan rencana korporasi.
- Perumusan program, proyek, dan aktivitas pembangunan secara jelas dan jelas pula kaitannya dengan hasil-hasil (outcomes) dan sasaran-sasaran (objectives) strategis spesifik di dalam rencana pembagunan daerah.
- Disepakatinya indikator yang jelas dan mekanisme baku untuk mengukur keberhasilan pelaksanaan rencana pembangunan daerah.
- Tingginya tingkat (kualitas) transparansi, akuntabilitas dan pelaporan pertanggung-jawaban.
Selanjutnya adalah contoh kasus
kerangka pikir strategi (rencana) pembangunan terpadu yang diterapkan di
Johannesburg (Afrika Selatan). Penting untuk dipahami bahwa diagram kerangka
pikir ini didokumentasikan sebagai bagian penting di dalam dokumen strategi.
Gambar 5. Contoh Diagram
Kerangka Pikir Strategi Pembangunan Daerah Di Johannesburg (Afrika
Selatan)
Pada umumnya, termasuk di dalam format3 dokumen rencana pembangunan,
kerangka pikir ini tidak digelar secara eksplisit. Pernyataan Misi pembangunan
hanya kalimat sintesis dari suatu proses berpikir yang tidak direkam,
distrukturkan dan ditampilkan di dalam dokumen rencana. Demikian pula halnya
dengan strategi. Contoh di atas secara jelas menggelar gambaran eksplisit dari
konstruksi sebuah misi pembangunan daerah pada bagian Focus Areas dan
strategi pada bagian Key Performance Area yang dikembangkan
dengan basis ke 4(empat) perspektif pembangunan daerah.
Perbandingan antara contoh di atas dengan perencanaan strategis yang
diwakili oleh format RPJPD dan RPJMD secara khusus turut memperkuat temuan
Robert S. Kaplan dan David Norton bahwa ada kelemahan karakteristik di dalam
proses perencanaan strategis tradisional. Khususnya dalam strategi komunikasi
perencanaan pembangunan.
1. Metodologi Perencanaan dengan Balanced
Scorecard
Berikut ini adalah metodologi untuk yang dipakai mengembangkan rumusan
Hasil Strategis (strategic outcomes), Wawasan Kinerja Kunci (key
performance area), Indikator Kinerja Kunci (key performance
indicator) dan Sasaran (target).
Gambar 6. Diagram Metodologi Hasil
Strategis (Strategic Outcomes)
Prinsip penerapan metodologi ini
adalah sebagai berikut:
- Konsultasi Publik; pelaksanaan konsultasi publik dengan proses yang terstruktur dan terrencana dengan baik untuk memastikan bahwa proses perencanaan dan kinerja pelaksanaan sepenuhnya memperoleh informasi tentang kebutuhan masyarakat. Di dalam sistem perencanaan pembangunan nasional, proses ini berlangsung dalam 2 (dua) tahap besar, yaitu; tahap pra- Musrenbang yang dilaksanakan dengan basis sektor, basis kewilayahan, dan basis kelembagaan dengan sasaran perolehan data dan informasi yang akurat sampai dengan analisis masalah, peluang, ancaman, kekuatan, kelemahan. Kemudian dilanjutkan dengan tahap Musrenbang dengan sasaran penyusunan rancangan awal, musyawarah pleno dengan seluruh stakeholders sampai dengan penyusunan rancangan akhir. Selanjutnya adalah proses penetapan di DPRD.
- Penyelarasan; prinsip penyelarasan adalah kebutuhan untuk memastikan bahwa rencana jangka pendek/tahunan (RKP/D) selaras dengan rencana jangka menengah (RPJM/D – Renstra KL/SKPD), dan rencana jangka menengah (RPJM/D – Renstra KL/SKPD) selaras dengan rencana jangka panjang (RPJP/D).
- Penjabaran (top-down) dan Konsolidasi (bottom-up); sejak dari perencanaan jangka menengah sampai dengan jangka pendek, di dalam tingkatan organisasi pemerintah/ pemerintah daerah dilaksanakan proses penjabaran dengan basis sektor, lintas sektor, kewilayah, dan kelembagaan, bersamaan dengan proses konsolidasi sehingga keseluruhannya menjadi siklus iterasi yang utuh dan terpadu.
- Pentahapan; prinsip yang digunakan disini adalah prinsip pengelolaan proyek (project management). Mengingat sejak dari proses perencanaan sudah cukup memakan waktu serta pelaksanaannya multi-years (1(satu) rencana jangka menengah dilaksanakan dalam 5(lima) rencana jangka pendek), oleh karena itu di dalam satu jangka menengah terjadi overlaping antara kinerja perencanaan dan kinerja pelaksanaan, sehingga untuk ini dibutuhkan pentahapan yang terstruktur dan disiplin secara jadwal dan materi. Komplikasi lebih jauh adalah dalam hal materi perencanaan periode jangka pendek berikutnya, dimana rencana tersebut harus dapat mengakomodasi materi koreksi dari kegagalan/kelemahan rencana jangka pendek sebelumnya.
Selanjutnya penjabaran rencana
pembangunan daerah ke dalam rencana operasi berdasarkan tingkat operasional
organisasi pemerintah daerah adalah sebagai berikut:
Gambar 7. Penjabaran &
Konsolidasi Rencana Pembangunan Daerah Berdasarkan Tingkat Organisasi
Pada diagram di atas jelas terlihat pola/struktur bagaimana penjabaran
dilakukan, dimana penjabaran merupakan proses top-down dan konsolidasi
merupakan proses bottom-up. Secara rinci proses yang terjadi adalah
sebagai berikut:
- KPAs → OUTCOMES; KPAs untuk tingkat pemerintah daerah dijabarkan menjadi OUTCOMES pada tingkat Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), kemudian KPAs SKPD dijabarkan menjadi OUTCOMES Bidang/Bagian SKPD dan seterusnya untuk Sub-Bidang/ Bagian SKPD.
- OUTPUTS → KPAs; OUTPUTS untuk tingkat pemerintah daerah dijabarkan menjadi KPAs pada tingkat SKPD, kemudian OUTPUTS SKPD dijabarkan menjadi KPAs Bidang/Bagian SKPD dan seterusnya untuk Sub- Bidang/Bagian SKPD.
- KPIs → ACTIVITIES; KPIs untuk tingkat pemerintah daerah dijabarkan menjadi ACTIVITIES pada tingkat SKPD, kemudian KPIs SKPD dijabarkan menjadi ACTIVITIES Sub-Bidang/ Bagian SKPD dan seterusnya untuk Sub-Bidang SKPD.
- TARGETS merupakan agregasi dari tingkat di bawahnya; dengan pendekatan agregasi secara bottom-up ini dapat ditemukan kesenjangan antar tingkat organisasi. Proses ini adalah proses konsolidasi. Di dalam proses ini mungkin ditemui adanya kesenjangan antara tingkatan rencana organisasional. Bila itu terjadi, proses dilanjutkan dengan melakukan revisi, mulai yang tertinggi (KPAs) di tingkat pemerintah daerah sampai dengan yang terrendah (ACTIVITIES) di tingkat Sub-Bidang/Bagian SKPD. Dengan ini terjadilah siklus iterasi proses perencanaan secara utuh, baik terjadi di dalam satu proses perencanaan, baik di dalam periode rencana berikutnya, apakah jangka pajang, jangka menengah, maupun jangka pendek/tahunan.
2. Panduan Penerapan Balanced
scorecard
a. Ringkasan
Balanced scorecard adalah
sebuah ssitem manajemen yang memberdayakan organisasi untuk memperjelas visi
dan strategi serta menjabarkannya ke dalam tindakan. Bila dikembangkan secara
penuh, Balanced scorecard mentransformasikan perencanaan strategis dari
sebuah proses teknokratik menjadi pusat syaraf sebuh organisasi. Prasyarat
untuk menerapkan Balanced scorecard adalah pengertian yang jernih
tentang visi dan strategi organisasi. Pondasi dari visi dan strategi adalah
pandangan holistik dan informasi yang diterima oleh manajemen selama melakukan
perencanaan strategis. Penerapan Balanced scorecard harus selalu ditata
sebagai sebuah proyek pengembangan sistem manajemen terpisah. Proyek tersebut
harus direncanakan secara terperinci sebagaimana proyek-proyek lainnya, dan
standar prosedur manajemen proyek harus diikuti. Penerapan Balanced scorecard
dapat dibagi menjadi lima fase: (1) Sintesis Model, (2) Implementasi
Teknis, (3) Integrasi organisasional, (4) Integrasi Teknis, dan (5) operasi
pelaksanaan.
Beberapa dari langkah-langkah tersebut dapat dijalankan secara paralel.
Hal ini akan mempersingkat jadwal secara
signifikan. Pada fase sintesis model, organisasi membangun konsesnsus tentang
visi dan strategi serta menjabarkan tolok-ukur tolok-ukur yang diperlukan.
Lebih lanjut, strategi organisasi kemudian di kuantifikasi menjadi Key
Performance Indicators (KPIs). Tolok- ukur dapat dijabarkan dari strategi
mengunakan Critical Success Factors (CSFs) atau sebagai alternatif
gunakan Strategy Maps. Ukuran-ukuran kunci setiap tolok-ukur di dalam Balanced
scorecard juga diidentifikasi.
Pada fase implementasi teknis, visi-visi, strategi-strategi, CSFs, tolok
ukur, dan lain sebagainya dimasukkan ke dalam sistem. Di dalam fase ini
termasuk instalasi software, pelatihan, merancang scorecard, menetapkan target
dan tingkat alarm, menetapkan aturan konsolidasi data, termasuk mendefinisikan
grafik dan laporan-laporan khusus. Sasaran dari integrasi organisasional di
dalam balanced scorecard adalah guna mengintegrasikannya dengan
proses-proses manajemen dan pelaporan organisasi, dan mengkomunikasikan balanced
scorecard kepada seluruh anggota organisasi. Integrasi teknis
diselenggarakan untuk mengurangi beban untuk mengumpulkan data tolok-ukur.
Sistem balanced scorecard diintegrasikan dengan sistem teknologi
informasi operasional, databases dan atau gudang-gudang data, seperti sistem
pelaporan keuangan, sistem perencanaan sumberdaya organisasi, atau sistem
manajemen hubungan pelanggan. Manfaat balanced scorecard akan terasa
bila dimanfaatkan di dalam operasi harian. Pemutakhiran data, analisis dan
pelaporan dilaksanakan secara reguler di dalam proses-proses manajemen dan
pelaporan. Penting juga untuk menyempurnakan balanced scorecard dari
waktu ke waktu. Balanced scorecard harus menjadi instrumen
manajemen yang dimanfaatkan tim manajemen di dalam pekerjaan strategisnya.
b. Pengantar
Balanced scorecard adalah
sebuah manajemen sistem (bukan hanya sistem pengukuran). Balanced scorecard memberdayakan
organisasi untuk memperjelas visi dan strateginya serta menterjemahkannya
menjadi tindakan. Balanced scorecard memberikan umpan balik mencakup
bisnis proses internal dan hasil (outcomes) eksternal, dalam rangka
meningkatkan kinerja strategis dan hasilnya secara berkelanjutan. Bila
dioperasikan secara penuh, balanced scorecard mentransformasikan
perencanaan strategis dari latihan akademik menjadi pusat syaraf organisasi.
Pembahasan ini menerangkan prosedur penerapan balanced scorecard bagi
organisasi yang belum atau sangat sedikit pengalaman dengan balanced scorecard.
Penekananannya adalah pada penerapan praktis dan teknis dari sistem balanced
scorecard. Pendekatan fast track perlu juga diterangkan. Pendekatan
ini dapat dilakukan terhadap organisasi yang telah menerapkan balanced
scorecard atau untuk menciptakan pilot proyek penerapan balanced
scorecard.
c. Prasyarat
Sebelum sebuah organisasi dapat mulai menerapkan balanced scorecard,
dibutuhkan pengertian yang jernih atas visi dan strategi dari organisasi
tersebut. Adalah tanggung jawab manajemen untuk mendefinisikan visi,
memformulasikan strategi dan menetapkan tujuan-tujuan strategis, walaupun tidak
mengimplementasikan balanced scoredcard. Basis dari visi dan strategi
adalah pandangan holistik dan informasi yang diterima oleh manajemen selama
melakukan pekerjaan strategis yang sistematis. Prinsip-prinsip strategis jarang
dapat diperoleh dari kosultan, namun konsultan dapat memfasilitasi proses
perumusannya. Alat-alat yang umum digunakan untuk pekerjaan strategis adalah; Strategy
Mapping, PEST(Political, Economical, Social, Technological) analysis,
SWOT (Strengths, Weaknesses, Opprtunities, Threats) analysis, Porter
value chain analysis, Porter five forces of competition analysis, BCG
Matrix analysis.
d. Perencanaan Proyek Balanced
Scorecard
Penerapan balanced scorecard harus selalu dilaksanakan sebagai
tatanansebuah proyek. Proyek ini adalah sebuah proyek pengembangan sistem
manajemen. Sebelum proyek dimulai, beberapa pertanyaan berikut ini harus
terjawab:
- Apa tujuan dari proyek balanced scorecard? Masalah aktual apa yang akan dipecahkan dengan balanced scorecard? Apa status tujuannya?
- Siapa yang memimpin proyek balanced scorecard? Pemimpin proyek haruslah sekurang-kurangnya salah seorang anggota tim manajemen dari unit organisasi yang akan dibuat scorecard-nya.
- Siapa saja yang berpartisipasi di dalam proyek balanced scorecard? Di dalam sebuah organisasi yang besar, salah seorang anggota manajemen korporasi harus dilibatkan dalam rangka menyelaraskan strategi unitorganisasi dengan strategi korporasi. Umumnya berbagai kompetensi perlu direpresentasikan di dalam tim proyek. Tanggung jawab balanced scorecard tidak seharusnya dibebankan kepada pengawas (inspektorat), manajer pengembangan usaha, atau manajer kontrol kualitas. Masukan dan keterlibatan manajemen puncak sangat penting demi keberhasilan penerapan balanced scorecard.
- Unit organisasi mana yang memotori? Pada sebuah organisasi yang, kecil, balanced scorecard dapat langsung diterapkan bagi seluruh organisasi. Pada organisasi yang besar, satu atau beberapa unit organisasi harus dipilih untuk memotorinya.
- Isu-isu standar perencanaan proyek: Anggaran? Sasaran antara? Analisis Resiko?.
- Bagaimana sistem teknologi informasi akan digelar? Alokasi perang lunak dan perangkat keras? Siapa yang bertanggungjawab mengelola sistem tersebut?.
e. Fase-fase Penerapan
Sebelum sebuah organisasi siap untuk menerapkan balanced scorecard,
konsensus atas visi dan strategi organisasi harus terlebih dahulu dicapai.
Penerapan balanced scorecard dapat dibagi menjadi lima fase sebagai
berikut:
- Sintesis Model; pada fase sintesis model, unit organisasi membangun konsensus atas visi dan strategi serta menjabarkannya ke dalam ukuranukuran yang dibutuhkan. Sintesis model terdiri atas dua bagian utama:
- Sintesis strategi (sintesis struktur); sasaran dari sintesis ini adalah untuk membentuk dan membangun komitmen pada manajemen untuk mencapai konsesus tentang visi dan strategi organisasi. Tidak jarang terdengar bahwa ada saja beberapa pandangan berbeda tentang visi dan prinsip-prinsip strategis di dalam sebuah organisasi. Salah satu cara yang efektif untuk mencapai konsensus adalah melalui wawancara dengan tim manajemen, kemudian hasilnya dibahas dalam workshop untuk mencapai konsensus. Sekaligus membahas terminologi dan elemen-elemen yang digunakan di dalam balanced scorecard, termasuk keputusan tentang struktur balanced scorecard.
- Sintesis tolok ukur; pada fase ini,strategi dari sebuah organisasi di kuantifikasi ke dalam tolok ukur atau Key Performance Indicator (KPIs). Tolok ukur dapat diturunkan dari strategi dengan menggunakan Critical Success Factors (CSFs) atau Strategy Maps. Pendekatan dengan CSF lebih ringkas, namun memiliki kelemahan untuk mendeskripsikan hubungan logis sebab dan akibat di antara tolok ukur di dalam persepektif yang berbeda. Atribut-atribut utama setiap tolok ukur di dalam balanced scorecard juga didefinisikan, antara lain; nama tolok ukur, penanggung jawab tolok ukur, skala waktu, target, dan tingkat bahaya.
f. Implementasi Teknis;
Implementasi teknis balanced
scoredcard sudah dimulai sejak pelaksanaan workshop pada fase
sintesa model. Visi, Strategi, CSFs, Tolok Ukur diterapkan ke dalam sistem
secara interaktif sepanjang proses workshop. Implementasi teknis ini
mencakup langkah-langkah sebagai berikut:
- Instalasi perangkat lunak.
- Pelatihan dasar untuk perancang scorecard.
- Merancang scorecard.
- Penetapan target dan tingkat bahaya.
- Penetapan formula-formula perhitungan untuk mengkonsolidasikan,data.
- Mendefinisikan properti grafis untuk grafik-grafik yang akan,ditampilkan.
Dalam banyak kasus, personil di
dalam organisasi mengerjakan sebagian,besar prose implementasi teknis.
Konsultan pada umumnya hanya,memberikan dukungan.
g. Integrasi organisasional
Sistem balanced scorecard seharusnya tidak dijalankan sebagai
proses yang, terpisah di dalam organisasi. Balanced scorecard adalah
sistem manajemen,yang terintegrasi dengan bisnis proses organisasi dan
dikomunikasikan, kepada seluruh anggota organisasi. Fase integrasi
organisasional, mencakup,langkah-langkah sebagai berikut:
- Mendefinisikan para pegawai yang bertanggungjawab terhadap data,tolok ukur dan pemberdayaan mereka.
- Penjelasan dari sasaran-sasaran yang ingin dicapai dengan penerapan,balanced scorecard kepada seluruh pegawai organisasi.
- Rekayasa ulang proses manajemen dan strategi.
- Rekayasa ulang proses pelaporan.
Sistem balanced scorecard layaknya
digunakan di dalam proses manajemen,seperti monthly review, quarterly
business review, dan lain sebagainya.
h. Integrasi teknikal
Sebuah cara yang efektif untuk mengurangi beban pengumpulan dat,ukur
adalah dengan mengintegrasikannya dengan sistem teknologi informasi
operasional, database dan atau gudang data. Umumnya antara 30% s/d 60% data
tolok ukur dikumpulkan oleh beberapa sistem operasional yang berbeda, seperti
sistem pelaporan keuangan, sistem perencanaan sumberdaya organisasi, sistem
hubungan konsumen. Sisanya adalah terdiri atas ukuran-ukuran yang tidak terukur
(intangible) yang perlu dikumpulkan secara terpisah dan di-input-kan secara
manual. Langkah-langkah integral teknikal adalah sebagai berikut:
- Identifikasi data tolok ukur yang di import dan sistem sumbernya.
- Analisis struktur database dan kapabilitas ekspor data dari sistem operasi.
- Mendefinisikan prosedur pengumpulan data tolok ukur dari sumber data, termasuk identifikiasi data, modifikasi dan penjadwalan.
- Implementasi hubungan antara sistem balanced scorecard dengan sistem operasi organisasi.
i. Operasi sistem balanced scorecard
Mendefinisikan dan membangun balanced scorecard adalah pengalaman
belajar yang sangat bermanfaat. Organisasi memperoleh pengertian yang lebih
mendalam tentang apa yang menggerakkan kinerjanya dan pemahaman sebab akibat
antara masing-masing penggerak. Namun bagaimanapun juga manfaat nyata dari
sistem balanced scorecard akan dirasakan ketika ia menjadi bagian
operasi dari hari ke hari. Selama fase integrasi organisasional, balanced
scorecard telah mulai diintegrasikan dengan proses manajemen normal dan
pelaporan dari organisasi tersebut. Di dalam proses ini, kegiatan-kegiatan
berikut dilaksanakan secara reguler:
- Pemutakhiran nilai-nilai tolak ukur.
- Menganalisis hasil-hasil balanced scorecard.
- Melaporkan hasil-hasil balanced scorecard.
- Menyempurnakan model balanced scorecard.
Balanced scorecard juga harus menjadi alat standar yang digunakan oleh tim
manajemen di dalam pekerjaan strategi mereka.
C. Komunikasi Perencanaan
Sudah terlalu terbiasa kita mendengar pentingnya rasa memiliki oleh para
stakeholder/ masyarakat atas rencana pembangunan daerah. Tanggungjawab
penyusunan rencana pembangunan daerah melekat kepada pemerintah daerah.
Sebenarnya situasi ini adalah sebuah paradox, karena kegiatan merencanakan
pembangunan daerah adalah kegiatan bersama–sama antara masyarakat dengan
pemerintah daerah yang pada umumnya menghasilkan gagasan-gagasan praktis dengan
rumusan tindakan yang jelas dan terperinci. Sementara dalam rangka penulisan
(oleh pemerintah daerah) gagasan-gagasan tersebut menjadi sebuah dokumen
perencanaan pembangunan daerah/rencana strategis, sering kali perlu dirumuskan
ulang dalam bentuk ide-ide garis besarnya karena berbagai kepentingan, terutama
karena kepentingan disposisinya di dalam konsep batang-cabang-ranting
(integrasi vertikal), dan sinerginya dengan berbagai gagasan lainnya (integrasi
horizontal), termasuk berbagai pengembangan alternatif–alternatif (eksplorasi)
maupun variasi–variasinya (terapan/spesifik lokal) dengan hasil akhir
dimanifestasikan secara runtut mulai dari kebijakan, rencana, program, proyek,
sampai dengan aktivitas. Bila hasil akhir dalam bentuk dokumen rencana bisa
dikatakan bias terhadap apa yang telah dirumuskan bersama, maka persoalan
pokoknya adalah komunikasi. Dalam hal ini adalah komunikasi perencanaan. The
best strategic plans in the world are not likely to be successful if they are
not effectively communicated to those who must implement them. (Laban
and Green) Media komunikasi utama adalah bahasa, dalam hal ini adalah bahasa
rencana; bahasa tulisan yang dapat menyampaikan gagasan yang
terkandung secara eksplisit, sedemikian jelasnya sehingga sulit ditafsirkan
lain selain mengarah kepada gagasan tersebut.
Kesalahan umum dalam hal ini adalah alih-alih membuat rumusan garis
besar atau konsep, membaurkannya menjadi sangat abstrak yang terjadi. Lebih
buruk lagi sangat sering kita dengan argumen bahwa dibuat secara sadar dengan
tujuan agar tidak mengikat!. Ini adalah kesalahan fatal, karena tujuan utama
menerbitkan dokumen rencana strategis adalah membangun komitmen. Bukankan
komitmen diharapkan mengikat?. Bahasa tulisan yang buruk dapat berakibat buruk
terhadap pencapaian komitmen rencana pembangunan. Ada 3 (tiga) akibat buruk
utama yaitu4; kehilangan waktu, kehilangan upaya, dan prasangka buruk;
- Kehilangan waktu; hanya 3% dari waktu membaca yang dihabiskan oleh mata kita untuk bergerak sepanjang halaman, dan sisanya (97%) adalah untuk mencoba mengerti apa yang kita baca!. Artinya bahasa rencana yang buruk, tidak ekplisit, pasti tidak akan membangun komitmen; bagaimana bisa bila dimengerti saja tidak!. Membaca dokumen rencana seperti itu, tidak lain dan tidak bukan hanyalah membuang-buang waktu saja.
- Kehilangan upaya; di dalam 97% waktu membaca tersebut, apa yang tertulis dan terbaca akan diproses di otak kita menjadi pengertian. Pengertianlah yang diharapkan melalui bahasa tulisan tersebut, artinya upaya yang sangat besar yang telah dilakukan sebelumnya (oleh para pihak), untuk kemudian disintesiskan (oleh perencana) di dalam kalimat bahasa tulisan (yang kemudian tidak dimengerti), menjadi upaya yang terbuang percuma.
- Prasangka buruk; … sampah!… Dalam situasi terburuk, ungkapan sedemikian sangat boleh jadi terungkapkan. Ungkapan tersebut akan bermuara pada prasangka buruk tentang apakah penulisnya tidak tahu berbuat lebih baik, atau bahkan tidak perduli sama sekali.
Bayangkanlah bila itu terjadi terhadap dokumen rencana yang notabene
disusun oleh pemerintah daerah, meskipun proses perencanaannya dilaksanakan
bersama-sama dengan seluruh stakeholders; …. mosi tidak percaya?. Pengertian
menjadi kata kunci di dalam uraian di atas. Bagaimana sebuah kalimat bahasa
tulisan dapat menghasilkan pengertian; ada 5 (lima) kriteria dasar yang harus
dipenuhi:
- Jelas (clear); pembaca mendapat pengertian tentang gagasan yang ingin disampaikan melalui kalimat bahasa tulisan tersebut, tidak ada ambigu atau terka-menerka. Seluruh pembaca yang diharapkan mengerti, sama pengertiannya.
- Lengkap (complete); sebuah kalimat rencana menyertakan seluruh keterangan dan penjelasan5 yang dibutuhkan oleh pembacanya, baik dalam bentuk anak kalimat, baik di bagian lebih lanjut dari dokumen rencana. Keterangan dan penjelasan sangat dibutuhkan oleh pembaca untuk mengkaji pesan yang ingin disampaikan, sampai dengan untuk bertindak atasnya. Di sinilah tumbuhnya bibit-bibit komitmen yang sangat diharapkan melalui penyusunan dokumen rencana pembangunan daerah.
- Benar (correct); sebuah dokumen rencana yang efektif harus bebas dari kesalahan tata bahasa, penggunaan kata, dan struktur kalimat. Juga bebas dari salah ejaan, penggunaan huruf besar, dan salah ketik. Bentuk (format) dan tampilannya mewakili isinya.
- Efisien; sebuah dokumen rencana yang baik menggunakan gaya dan penataan yang dirancang untuk menghemat waktu pembaca. Tatanannya jelas dan ringkas sehingga pesan yang ingin disampaikan gampang diikuti. Tidak boleh ada sesuatupun di dalam rancangan dan tatanan dokumen rencana yang tidak berguna6, mengalihkan perhatian, atau bahkan membingungkan.
- Efektif; karena dokumen rencana telah jelas, lengkap, benar, dan efisien, maka tersalurkan pulalah citra yang positif (kepada pemerintah daerah) melalui dokumen tersebut. Dokumen rencana sedemikian itu mempertimbangkan pembacanya (stakeholder) dengan baik, dan kesan yang baik adalah suatu keniscayaan. Modal utama berkembangnya komitmen untuk melaksanakan rencana sebaik-baiknya.
1. Pernyataan Garis Besar –
Pernyataan Terperinci
Bahasa tulisan di dalam dokumen rencana termuat dalam bentuk-bentuk
pernyataan. Pernyataan dapat berupa pernyataan garis besar yang
mengekspresikan ide atau konsep, sampai dengan pernyataan terperinci yang
langsung dapat ditindak-lanjuti dengan tindakan nyata. Mengekspresikan konsep melalui
pernyataan garis besar adalah bagian yang sangat penting dalam proses
merencanakan; konsep akan menghasilkan pikiran positif, dan pikiran positif
adalah pikiran (tertuang dalam bentuk pernyataan) yang mudah diapresiasi oleh
orang banyak. Selanjutnya, apresiasi akan berujung komitmen. Secara kritis
tentu kita akan bertanya apa apresiasi itu; berhubung topik pembahasan adalah
tentang rencana, maka apresiasi yang paling diharapkan adalah tentang apa
tindakan untuk melaksanakan rencana tersebut. Apresiasi yang menggambarkan atau
mengonstruksikan indikasi tindakan-tindakan yang mengikutinya di dalam pikiran
kita. Banyak kita temui, di dalam dokumen rencana, pernyataan yang seolah-oleh
merupakan pernyataan garis besar, namun tidak berhasil mengekspresikan ide
atau konsep yang terkandung di dalamnya. Pernyataan-pernyataan yang sulit kita
apresiasi, dan akhirnya menimbulkan pertanyaan-pertanyaan tanpa sempat
mengindikasikan tindakan-tindakan yang mengikutinya di dalam pikiran kita.
Untuk mudahnya, bagaimana apresiasi kita terhadap pernyataan-pernyataan garis
besar berikut ini?:
“… menciptakan iklim yang kondusif
bagi investasi…..”.
“… menekan angka pengangguran…”.
“… meningkatkan pertumbuhan ekonomi
menjadi 7% per tahun…”.
“… meningkatkan Pendapatan Asli
Daerah (PAD) …”.
“… memberdayakan industri pelayaran
…”.
“… mengundang investasi sebesar ±10
trilyun rupiah …”.
“… membangun pembangkit 10 ribu
megawatt dengan sumber daya terbarukan …”.
“… membangun 25 kota baru …”.
“… mencetak 1 juta hektar sawah baru
…”.
“… membangun 5 ribu kapal armada
perikanan tangkap …”.
Kiranya dapat disepakati bahwa
beberapa dari pernyataan di atas menggambarkan atau mengkonstruksikan indikasi
tindak-lanjut di dalam pikiran kita, beberapa lainnya samar-samar, dan sisanya
mungkin tidak sama sekali. Sebaliknya, beberapa dari pernyataan di atas
menggambarkan adanya hubungan sebab-akibat antara masalah dengan pernyataan
yang dibuat, beberapa lainnya samar-samar, dan sisanya mungkin tidak sama
sekali. Pembahasan ini juga terkait dengan berpikir reaktif dan berpikir
proaktif yang akan dibahas lebih lanjut pada bagian Perencanaan Ekstrapolatif
dan Perencanaan Proaktif. Hubungan antara pernyataan garis besar dengan
pernyataan terperinci analogis dengan hubungan antara induk dengan anak-anak
yang (akan) dilahirkannya. Bukan sebaliknya; tidak pernah ada di dunia ini
anak-anak yang melahirkan induknya. Pernyataan-pernyataan di atas
yang tidak mengindikasikan rumusan tindak-lanjut di dalam pernyataan
terperinci, tidak memenuhi syarat sebagai pernyataan rencana. Demikan pula
halnya pernyataan-pernyataan yang mengindikasikan masalah,
pernyataan-pernyataan tersebut pada dasarnya adalah rumusan masalah yang
dituliskan dalam bentuk kalimat aktif sehingga seolah-olah mengandung esensi
rencana.
2. Pernyataan positif – berpikir
positif
Rencana seharusnya dirumuskan di dalam pernyataan positif; pernyataan
yang dilahirkan dari berpikir positif. Sederhanya, pernyataan positif adalah
pernyataan yang mudah diapresiasi oleh orang lain, dan pernyataan
rencana yang positif akan diapresiasi dengan komitmen untuk bertindak
(melaksanakan rencana). Dalam hal ini, berarti komitmen bersama untuk bertindak
melaksanakan rencana pembangunan daerah. Dalam urutan proses secara terbalik; tindakan→
komitmen → apresiasi → pernyataan → (proses) berpikir,
jelas bahwa di dalam proses berpikir posistif gambaran tentang tindakan
melekat di dalamnya. Dengan kata lain, proses yang melek-tindakan,
sehingga penyataan positif yang disampaikan kemudian adalah pernyataan
garis besar yang menggambarkan buah pikiran yang terbentuk sebagai
konstruksi dari tindakan-tindakan. Disini terkandung esensi kreatif
konstruktif/inovatif. Konsisten dengan analogi induk dan anak-anak, kurang
lebih pengertiannya adalah induk anjing akan melahirkan anak-anak anjing.
Artinya apa yang akan dilahirkan oleh pernyataan garis besar telah diketahui
sebelumnya. Masih banyak yang meyakini bahwa kreatifitas adalah bakat dibawa
sejak lahir, tidak semua orang memilikinya. Pengaruh keyakinan ini demikian
besarnya sehingga pendidikan kita fokus kepada pengajaran yang bersifat
reaktif, artinya dilatih bereaksi terhadap rangsangan (soal-soal) dengan
melakukan analisis (memanfaatkan teori-teori yang ada dan rumus-rumus),
menyimpulkan tindakan yang akan diambil (sebagai reaksi). Umumnya pernyataan
yang lahir dari proses seperti itu hanya dapat diapresiasi oleh orang-orang
yang memahami teori-teori dan rumus-rumus yang sama. Pasti mereka bukanlah
masyarakat/rakyat pada umumnya, bahkan seringkali termasuk para pelaku di
sektor riil. Apalagi bila pernyataan dihasilkan melulu berbasis pengalaman
akademis, bukan berbasis melek-tindakan yang terbukti dimiliki oleh
orang-orang yang berhasil di dunia nyata. Kemampuan bertindak adalah modal
utama yang dapat dipelajari dari dunia nyata dan keterampilan bertindak dapat
dilatih sebagaimana berlatih soal-soal di dalam dunia pendidikan. Contoh-contoh
pernyataan di dalam pembahasan sebelumnya, mencontohkan pula pernyataan-pernyataan
positif. Pernyataan-pernyataan yang dapat diapresiasi dengan komitmen untuk
bertindak melaksanakan rencana pembangunan daerah. Kuncinya, berpikir positif
adalah bersungguh-sungguh mencoba menemukan hal-hal yang dapat disepakati oleh
siapa saja yang membaca pernyataan rencana. Memang sulit, oleh karena itulah
harus secara sadar dilatih. Latihan melihat sisi pandang orang lain.
3. Berpikir paralel
Bagaimana kita berproses untuk mencapai konsensus atas suatu gagasan,
baik berupa pernyataan garis besar, baik berupa pernyataan terperinci, adalah
bagia penting dari komunikasi perencanaan. Secara umum, kita ketahui bahwa
diskusi/pembahasan adalah metoda yang pasti dipakai, apalagi di bawah paradigma
perencanaan partisipatif. Budaya diskusi umumnya sangat terpengaruh oleh budaya
akademik; mengemukakan suatu kasus dan kemudian mencoba mempertahankan kasus
tersebut sambil membuktikan kesalahan kasus lain. Adalah manusiawi bahwa setiap
peserta diskusi terpengaruh oleh egonya, terutama karena motivasi untuk
dianggap benar. Metode ini sudah berusia 2.400 tahun, hasil rancangan Socrates,
Plato, dan Aristoteles. Yang tidak disadari, adalah diskusi seperti ini lebih
berguna untuk pembahasan tingkat ilmiah/filosofis, bukannya tingkat dunia
nyata/praktis. Tahun 1985 Edward de Bono merancang metode berpikir paralel.
Metode berdiskusi yang mengkodisikan para pesertanya untuk berpikir positif
dengan memancing mereka untuk berpendapat tanpa perlu menyerang pendapat yang
lain. Metode ini dikenal dengan istilah Enam Topi Berpikir . Metode Enam
Topi Berpikir kini telah digunakan secara luas di dalam berbagai bidang
kehidupan, mulai dari rapat Bisnis Multi-nasional sampai dengan rapat keluarga.
Keputusan atau konsensus lebih cepat tercapai. Biasanya, suatu perusahaan perlu
waktu tiga puluh hari untuk membahas proyek multi-nasional, dengan menggunakan
metode berpikir paralel mereka melakukan hal tersebut hanya dalam dua hari.
Sebelumnya, negosiasi upah di sebuah pertambangan butuh waktu tiga minggu.
Dengan metode berpikir paralel, hanya perlu empat puluh lima menit. Di tempat
lain, suatu serikat pekerja mengatakan kepada pihak manajemen bahwa mereka
menolak untuk bernegosiasi, kecuali menggunakan metode berpikir paralel. Sebuah
perusahaan Kanada menyatakan bahwa mereka berhasil menghemat 20 juta dolar pada
tahun pertama setelah menerapkan metode berpikir paralel. Metafor Enam Topi
Berpikir (berwarna putih, merah, hitam, kuning, hijau, dan biru)
dimanfaatkan untuk menyearahkan para peserta diskusi secara sejajar melihat ke
arah yang sama pada waktu yang sama pula. Praktisnya, para peserta diskusi
diminta memakai topi yang warnanya sama pada sesi yang sama.
- Topi Putih; mengarahkan para peserta diskusi untuk fokus kepada menyampaikan informasi yang terkait dengan gagasan yang dibahas, informasi yang diketahui, perlu diketahui, apakah ada yang terlewatkan. Singkatnya segala sesuatu yang bersifat informasi.
- Topi Merah; mengarahkan peserta diskusi untuk menggunakan emosi/intuisinya. Peserta mengungkapkan perasaan terhadap gagasan yang dibahas tanpa perlu memberikan penjelasan apapun. Suka, tidak suka, belum atau tidak merasakan apa-apa.
- Topi Hitam; mengarahkan peserta diskusi untuk mengkritisi gagasan yang dibahas. Peserta diminta menilai benar atau salah; apakah sesuai dengan nilai-nilai, apakah sumber daya mendukung, apakah taat azas, apakah sesuai dengan strategi atau sasaran yang telah disepakati sebelumnya. Singkatnya adalah kewaspadaan, kehati-hatian, sadar resiko, kearifan.
- Topi Kuning; mengarahkan peserta diskusi untuk mencari argumen yang mendukung gagasan yang dibahas, lengkap dengan nilai, manfaat mengapa gagasan tersebut bisa didukung. Singkatnya adalah ditantang untuk berpikir kebalikan dari Topi Hitam.
- Topi Hijau; mengarahkan peserta diskusi untuk mencari gagasan, alternatif, kemungkinan, dan rancangan. Topi ini mengajak usaha kreatif, konstruktif, generatif dan produktif.
- Topi Biru; mengarahkan peserta diskusi untuk ikut mengendalikan proses diskusi. Topi ini secara terus-menerus digunakan oleh moderator. Moderator bisa mengingatkan peserta untuk menggunakan topi biru untuk ikut mengendalikan diri sendiri. Sesi yang diperuntukan bagi satu topi tidak boleh dilanggar dengan pembahasan topi lain, atau (misalnya sesi Topi Merah) cukup ungkapkan perasaan, jangan sertakan alasan apapun!. Orang-orang yang pernah berpartisipasi di dalam diskusi dengan metode Enam Topi Berpikir pada umumnya akan merasakan betapa primitifnya metode diskusi yang dirancang oleh trio Socrates, Plato, dan Aristoteles. Metode diskusi yang selama ini telah diandalkan, namun tidak pernah berhasil menyadarkan kita bahwa metode ini sangat tidak efisien dan efektif, apalagi menghadapi perencanaan partisipatif.
D. Perencanaan Ekstrapolatif dan
Perencanaan Visioner
Perencanaan pada prinsipnya wajib mencakup prinsip-prinsip reaktif dan
proaktif. Perencanaan Ekstrapolatif adalah penerapan prinsip reaktif dan
Perencanaan Visioner adalah penerapan prinsip proaktif. Namun karena berbagai
keterbatasan pendekatan yang dipakai dalam melakukan proses perencanaan,
khususnya karena cara berpiki ryang terbentuk di sekolah, pendekatan yang
seringkali dilakukan adalah pendekatan reaktif. Perencanaan dibuat sebagai
reaksi terhadap menu masalah, dan rencana memuat gagasan reaktif
pemecahan terhadap ekstrapolasi statistik (kecenderungan) masalah di masa
depan. Hal di atas, persis sama dengan apa yang kita alami di sekolah,
sebagaimana dikatakan oleh Edward de Bono di dalam bukunya Teach Your Child
How to Think; “..di sekolah lebih mudah meletakkan lembar kerja siswa, buku
teks/referensi, dan tulisan di papan tulis, kemudian meminta mereka memberikan reaksi
terhadap apa yang ada di hadapan mereka. Oleh karena ingin praktis seperti
itu, maka berpikir yang diajarkan di sekolah adalah berpikir reaktif….”.
1. Perencanaan Ekstrapolatif
Pola berpikir reaktif, secara sadar maupun tidak, memerangkap kita dalam
perilaku merencanakan secara reaktif. Masalah dimanifestasikan dengan data
statistik, apalagi bila datanya adalah data statistik indikator-indikator makro
yang sama sekali tidak menjelaskan atau memberikan informasi tentang mengapa
terjadi demikian. Sehingga proses analisis yang dilakukan (yang juga diarahkan
oleh teori-teori di dalam buku teks/referensi), terfokus kepada bereaksi
terhadap masalah. Sementara hal-hal yang belum terjadi (belum ada data), yang
disebut juga sebagai peluang-peluang (opportunities) dan ancaman-ancaman
(threats) bukan melulu merupakan kecenderungan masa depan dari
ekstrapolasi (data) masalah masa lalu. Kemungkinan terburuk dari perencanaan
reaktif adalah pada akhirnya terjebak dalam upaya hanya memperbaiki data
statistik, bukan menangani masalah secara nyata. Masyarakat adalah manusia
seutuhnya, bukan sekedar angka di dalam statistik. Pada paruh kedua dekade
1980, Bupati Tangerang mengadakan kunjungan kerja ke zona industri, yang
digagas di dalam rencana pembangunan pada paruh pertama dekade 1980. Gagasan
itu untuk mengakomodasi kecepatan pertumbuhan Kabupaten Tangerang. Pada
kesempatan kunjungan tersebut, beliau sempat beraudiensi dengan para buruh dan
menanyakan dari mana asalnya; meskipun tidak terlalu kaget dengan jawaban yang
diperoleh7, beliau spontan berkata : “…. secara statistik (pembangunan
daerah) oke, tapi dimana masyarakat (asli) saya ……?”. Masyarakat
yang dimaksud adalah masyarakat yang tadinya merupakan juga angka statistik
yang dianalisis sehingga menumbuhkan gagasan pengembangan zona industri pada
paruh pertama dekade 1980. Sebagaimana telah diuraikan di atas, masalah-masalah
pembangunan daerah terwujud dalam bentuk data statistik, indikator-indikator ekonomi
makro dan mikro, secara sektoral, spatial dan kelembagaan, di sisi lain, para
pakar dan para perencana telah sangat siap dengan berbagai perangkat
analisisnya. Si tuasi di atas
merupakan kombinasi daya tarik yang luar biasa kuat (overwhelming),
sebagai tarikan untuk segera terjun ke dalam kegiatan analisis. Situasi ini
diperkuat oleh keadaan bahwa kita terbentuk (melalui sekolah) dengan pola
berpikir reaktif. Seluruh sumberdaya telah siap tempur untuk bereaksi terhadap
masalah. Pada akhir perjalanan analisis, kita dengan serta-merta dapat
menyimpulkan penyebab masalah, selanjutnya menimbulkan gagasan-gagasan untuk
menggempur penyebab masalah. Gagasan-gagasan inilah yang niscaya menyita hampir
seluruh isi rancangan perencanaan pembangunan berikutnya. Tidak kah kita
terjebak.?; sayangnya dunia pendidikan menganggap bahwa berpikir reaktif sudah
memadai.
2. Perencanaan Visioner
Kenyataan bahwa berpikir proaktif tidaklah “semudah” berpikir reaktif.
Berpikir proaktif hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang memiliki
keterampilan bertindak, keterampilan utama di dunia nyata8. Dalam bertindak,
kita harus menghadapi orang lain, ada keputusan yang harus diambil tepat waktu,
ada strategi yang harus disusun dan dipantau, ada rencana yang harus dibuat dan
dilaksanakan, ada konflik, tawar-menawar, dan kesepakatan, ada nilai nilai yang
harus diperhitungkan, dan ada yang harus dikorbankan. Semua ini menuntut kita
berpikir dan seluruhnya menuntut keterampilan bertindak yang tinggi.
Keterampilan bertindak membutuhkan banyak sekali kemampuan berpikir seolah-olah
tanpa batas (to infinity and beyond), bukan berpikir di dalam lingkup
yang terorganisasikan secara tertutup (sistem tertutup) seperti uraian tentang
“jebakan” di atas. Keterampilan bertindak atau disebut juga keterampilan
operasional berkaitan dengan pikiran yang mencakup aspek-aspek berpikir antara
lain:
- Sisi pandang lain, pandangan orang lain
- Cita-cita, Mimpi, Visioner
- Prioritas, Pengorbanan
- Alternatif
- Akibat, Lanjutan
- Keputusan, Momentum, Saat yang Tepat
- Resolusi konflik
- Eksploratif, Provokatif
- Inovatif, Generatif, Kreatif, Konstruktif
Aspek-aspek berpikir di atas, dalam keadaan normal banyak yang
tidak terpakai di dalam sistem tertutup dengan proses berpikir reaktifnya.
Aspek-aspek berpikir tersebut melekat di dalam sistem terbuka dengan proses
berpikir proaktif. Sebagaimana telah diuraikan di dalam pendahuluan, bahwapembangunan
daerah adalah suatu sistem terbuka, namun kegiatan merencanakan pembangunan
daerah berada di dalam sistem tertutup dan sistem terbuka. Perencanaan
pembangunan berada dalam sistem tertutup karena kepentingan obyektifitas
pengukuran keberhasilan pelaksanaannya, dan sekaligus berada di dalam sistem
terbuka karena perencanaan pembangunan bukan hanya untukmemecahkan masalah,
melainkan demi kemajuan di dalam segala bidang. Singkatnya maju dan
sekaligus memecahkan masalah. Dari mana datangnya keterampilan bertindak?;
keterampilan bertindak datang dari kesadaran melatih dan mengembangkan
kemampuan berpikir proaktif, bukan dari sekolah, bukan pula dari pengalaman.
Ada sekolah yang mengajarkan berpikir proaktif, tapi sangat boleh jadi sekolah
itu bukan sekolah kita. Sekolah pada umumnya mengajarkan berpikir kritis,
analitis, serial, akademis. Berpikir kritis, analitis, serial, akademis bukanlah
sebuah kesalahan, melainkan hanya menyedot sebagian besar energi dan
konsentrasi kita ke dalam sistemtertutup. Melengkapi proses merencanakan secara
utuh membutuhkan pula sebagian besar energi dan konsentrasi kita untuk berpikir
merancang (inovatif, generatif, kreatif, konstruktif), dimana rancangan
tidak otomatis akan terbentuk secara linier dari proses berpikir reaktif.
Rancangan mewujud dari proses berpikir lateral di dalam sistem terbuka, yang
terjadi di dalam proses perencanaan proaktif. Dampak berpikir reaktif dan
berpikir proaktif terhadap proses merencanakan, menghasilkan perbandingan
karakteristik antara Perencanaan Reaktif dengan Perencanaan Proaktif secara
garis besar sebagaimana tabel berikut
PERENCANAAN
REAKTIF
|
PERENCANAAN
PROAKTIF
|
Kritis, berbasis analisis data,
|
Konstruktif, berbasis
analisisSWOT,
|
Inward dan backward looking
|
Outward dan forward looking
|
Koordinatif, sektoral, linier,
statis
|
Partisipatif, terpadu, looping,
dinamis
|
Gagasan inkremental, building
on
success, konservatif, argumentatif
|
Gagasan melompat, building on
commitment, eksploratif, provokatif
|
Rasional, teoritis, teknokratis,
universal
|
Riil, demokratis, spesifik lokal
|
Dalam hubungannya dengan perencanaan pembangunan daerah, terbukti secara
sah dan meyakinkan bahwa perencanaan partisipatif bukan sebuah pilihan,
melainkan suatu keharusan. Merencanakan secara partisipatif (participatory
planning) adalah proses lateral, sebagai wujud nyata dari berpikir
proaktif (dan yang dilaksanakan dalam bentuk perencanaan proaktif). Kekuatan
perencanaan datang dari ketidak-terbatasan informasi (proses eksplorasi) yang
disumbangkan oleh para pihak/stakeholder, bukan hanya dari interpretasi data
dan analisisnya. Tapi, memilih antara pendekatan perencanaan reaktif dengan
perencanaan proaktif adalah sia-sia, lakukan kedua-duanya sebagai satu kesatuan
proses merencanakan pembangunan daerah secara utuh dan terpadu.
3. Berpikir Proaktif – berpikir
lateral
Teknik yang menerapkan berpikir lateral terhadap masalah
dimanifestasikan dengan pergeseran pola berpikir dari pola baku atau mudah
ditebak, menjadi pola baru atau gagasan yang tidak disangka-sangka. Gagasan
baru yang dihasilkan dari berpikir lateral boleh jadi tidak berguna, namun
ketika gagasan baru ditemukan dengan cara ini, biasanya menimbulkan kesadaran
“…. koq tidak dari dulu ya…?”. Edward de Bono menemukan istilah
berpikir lateral (lateral thinking) pada tahun 1967, yang ditulis
pertama kali.di dalam buku berjudul “The Use of Lateral Thinking“.
Dia menyatakan bahwa istilah problem solving mengimplikasikan adanya
satu masalah (problem) yang harus dihadapi dan dapat diselesaikan.
Istilah tersebut meniadakan suatu situasi bilamana tidak ada masalah, atau
masalah ada tapi tidak bisa diselesaikan. Adalah logis untuk berpikir tentang
membuat situasi yang baik menjadi lebih baik, sementara dengan problem solving
logika itu tidak berlaku, karena bila tidak ada masalah antinya tidak ada
pula yang bisa diselesaikan. Adakalanya suatu masalah tidak bisa diselesaikan dengan
menghilangkan penyebabnya. Kita mungkin saja perlu menyelesaikan masalah bukan
dengan menghilangkan penyebabnya, melainkan dengan merancang jalan ke depan,
meskipun dengan membiarkan penyebabnya tetap ada. Berbeda dengan berpikir
kritis, yang terutama berkaitan dengan menghakimi nilai kebenaran dari sebuah
pernyataan dan mencari kesalahan-kesalahan, berpikir lateral lebih terkait
dengan pergeseran nilai oleh sebuah pernyataan atau gagasan. Seseorang akan
memanfaatkan berpikir lateral ketika ingin pindah dari satu gagasan yang telah
diketahui ke penciptaan gagasan baru. Provokasi (provocative operation)
digunakan untuk mengajukan gagasan, yang mungkin saja bukan merupakan solusi,
atau bukan sebagai ide. Tetapi menggerakkan pemikiran lebih maju ke wilayah di
mana gagasan baru dapat dihasilkan. Di dalam pembahasan atau percakapan,
sebaiknya diucapkan dahulu: “… ini provokasi …” atau singkatannya (PO).
Dengan demikian lawan bicara mengetahui bahwa pembicara memang sedang melakukan
provokasi. Ada beberapa cara untuk mendefinisikan berpikir lateral, mulai dari
ilustratif sampai dengan teknikal sebagai berikut.
a.“Anda tidak dapat menggali
lobang di tempat lain dengan menggali lebih dalam di lobang yang sama”: Artinya
bahwa mencoba lebih keras di dalam arah yang sama mungkin tidak
sebermanfaat dengan mencoba berganti arah berpikir. Upaya pada arah
berpikir yang sama mungkin tidak akan berhasil.
b.“Berpikir lateral adalah untuk
mengganti konsep dan persepsi”: Dengan logika, biasanya kita memulai
sesuatu dengan bahan-bahan tertentu. Seperti bermain catur, kita mulai
melangkah dengan buah catur yang bisa dijalankan sebagai langkah pertama
(8 pion dan 2 kuda). Tetapi apa analoginya buah-buah catur tersebut di
dunia nyata?. Hampir di dalam seluruh situasi dunia nyata, manifestasi
analogi buah catur tersebut tidak ada!, kita hanya mengasumsikan bahwa
manifestasi tersebut ada. Kita mengasumsikan persepsi tertentu, konsep
tertentu, dan batas-batas tertentu di dalam pikiran kita untuk mencoba
mengerti kenyataan di dalam dunia nyata. Berpikir lateral adalah tentang
tidak melangkah dengan menjalankan buah-buah catur tersebut, tetapi
adalah justru tentang merubah buah-buah catur tersebut. Berpikir lateral
terkait dengan peran persepsi di dalam berpikir. Di sini lah otak kita mengorganisasikan
kenyataan dunia ke dalam bagian-bagian yang sanggup kita proses lebih
lanjut.
c.“Otak sebagai sebuah self-organising
information system membentuk pola-pola berpikir asimetris. Di dalam sistem
seperti itu, ada kebutuhan matematis untuk bergerak lintas pola berpikir.
Alat-alat dan proses-proses berpikir lateral dirancang khusus untuk berhasil
melakukan pergerakan lintas pola berpikir, atau disebut juga pergerakan
lateral. Alat-alat tersebut dirancang dengan basis pengertian yang mendalam
tentang otak sebagai self-organising information systems.”: Ini
adalah definisi teknikal yang bergantung kepada pengertian tentang self-organising
information systems. Yaitu sebuah sistem informasi yang
mengorganisasikan diri sendiri secara otomatis; otak kita melakukan itu
secara refleks. Kita tidak bisa merubah refleks tersebut, yang bisa kita
lakukan hanyalah berpikir dan berpikir, otak kita akan membuat pola
asimetris dari masing-masing proses berpikir tersebut. Oleh karena itu penting
bagi kita secara sadar melatih berpikir menggunakan alat berpik agar dapat
melintas pola-pola asimetris tersebut untuk mendapatkan buah pikiran
yang kreatif.
d.“Di dalam setiap self-organising
system terdapat kebutuhan untuk melepaskan diri dari sebuah optimum
lokal dalam rangka bergerak menuju optimum lebih global. Teknik-teknik berpikir
lateral, salah satunya provokasi, telah dirancang untuk membantu pergerakan
tersebut.”: Satu definisi teknikal juga. Definisi ini penting karena mendefinisikan
juga kebutuhan matematis untuk kreatifitas.
e.Alat-alat berpikir lateral (sumber:
buku Revolusi Berpikir – terjemahan dari “Teach Your Child How To Think”
karya Edward de Bono) Alat-alat ini dapat dipakai secara runtut dari
nomor 1. sampai dengan nomor 7. Namun masing-masing secara sendiri
maupun dengan beberapa nomor lainnya dapat digunakan secara terpisah
sesuai dengan kebutuhan atau situasi.
- ATS, pikirkan antara lain tentang: Apakah sasaran cara berpikir ini? Apa yang ingin kita raih? ATS mengarahkan perhatian kita kepada tujuan tertentu dari sebuah pikiran. ATS diambil dari prinsip-prinsip di dalam pengertian Arah, Tujuan, Sasaran.
- TSF, pikirkan antara lain tentang: Keadaan lingkungan pikiran anda. Apa saja yang harus dipertimbangkan? Apa yang belum dipertimbangkan? Apa saja yang sudah dipertimbangkan? Apa saja yang tidak dipertimbangkan? TSF adalah singkatan dari Tinjau Semua Faktor.
- SPOL, pikirkan antara lain tentang: Siapa saja yang terpengaruh langsung maupun tidak oleh pikiran ini? Nilai-nilai apa yang mereka anut? Bagaimana perubahan nilai-nilai mereka? Apa sudut pandang mereka? Bagaimana pandangan mereka terhadap pikiran ini?. SPOL singkatan dari Sisi Pandang Orang Lain.
- AKP, pikirkan antara lain tentang: alternatif tidakan yang akan dilakukan? Apa yang bisa dilakukan? Apa yang belum bisa dilakukan? Apa yang tidak bisa dilakukan. Apa yang pernah dilakukan? Apa yang belum pernah dilakukan? Bagaimana kalau tidak melakukan apa-apa? AKP diambil dari prinsip-prinsip di dalam pengertian Alternatif, Kemungkinan, Pilihan.
- PPP, pikirkan antara lain tentang: Mana yang lebih penting dari yang lain? Apa yang paling penting? Apa yang paling tidak penting? PPP singkatan dari Prioritas Penting Pertama. Pikiran ini umumnya dilakukan setelah AKP, tapi bukanlah keharusan.
- ATL, pikirkan antara lain tentang: Apa yang akan terjadi? Apa yang akan ikut terjadi? Apa yang tidak akan terjadi? Apa yang boleh terjadi? Apa yang tidak boleh terjadi? Apa-apa saja tindak lanjutnya? Tindak lanjut mana saja yang pokok? Tindak lanjut mana saja yang pelengkap? ATL diambil dari prinsip-prinsip di dalam pengertian Akibat dan Tindak Lanjut.
- KKSM, pikirkan antara lain tentang: Keunggulan? Kelebihan? Kekuatan? Kekurangan? Kelemahan? Hal-hal yang menarik? Hal-hal yang tidak menarik? Hal-hal yang belum tentu menarik? KKSM singkatan dari Kelebihan, Kekurangan, Sisi Menarik. Dalam suatu proses berpikir, penting untuk memformalkan/mengeksplisitkan bagian proses apa yang sedang dilakukan. Misalnya, ucapkan SPOL ketika anda akan memikirkan (sendiri maupun bersama-sama dalam tim) tentang sisi pandang orang lain, atau ucapkan TSF, AKP, sesuai dengan arah pembahasan yang diinginkan.
F. Rangkuman
Sistem perencanaan pembangunan di Indonesia diatura dalam Undang-undang
Nomor 25 Tahun 2005 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN).
Dalam SPPN merupakan perekat sistem perencanaan pembangunan di tingkat pusat
dsn daerah. SPPN merangkai Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP),
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah (RPJMD) – Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah
(Renstra-SKPD), Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dalam hubungan
kesinambungan antar dimensi materi, ruang dan waktu yang nyata (lihat gambar
3.2, hal 13).
Salah satu isu yang disajikan dalam bab ini ialah perencanaan dengan
pendekatan Balanced Scorecard. Pada tahun 1992 dua orang profesor pada
Harvard University, yaitu Robert S. Kaplan dan David Norton memperkenalkan Balanced
Scorecard, setelah melakukan kajian terhadap proses perencanaan strategis
tradisional. Mereka menemukan bahwa di dalam proses perencanaan strategis
tradisional terdapat kelemahan karakteristik, yaitu antara lain, penekanan yang
berlebihan pada isu-isu keuangan/penganggaran dan ketidak jelasan rancangan
kinerja pelaksanaan. Hal ini dilihat oleh mereka sebagai suatu ketidak-mampuan
untuk mengkomunikasikan dan menjabarkan strategi keseluruh satuan kerja. Dan
ini adalah suatu kelemahan dalam proses-proses pengukuran kinerja terhadap
strategi yang tidak formal dan terstruktur.
Dengan kemampuan untuk merangkaikan strategi dengan kinerja, aplikasi
pendekatan balance scorecard mempunyai banyak kegunaan dalam berbagai
organisasi swasta maupun organisasi publik.
Sumber : Materi Diklat Eselon III
Lembaga Administrasi Negara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar